Setiap hari berganti dalam hidup kita, semoga langkah kita tetap terbimbing dengan pertolongan Allah untuk menjadikan ridha Allah swt sebagai yang utama dalam hidup ini. Amiin..
Adalah fithrah dari setiap kita, untuk memilih apa yang kita sukai dan meninggalkan yang selainnya. Namun, dalam Islam, pilihan kita bukanlah pada apa yang kita sukai dan apa yang kita benci. Allah telah memerikan petunjuk tentang amal-amal yang harus dilaksanakan maupun ditinggalkan. Dan setiap pilihan yang kita ambil pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat kelak.
Dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, Allah telah mengkaruniakan akal bagi kita yang dapat menjadi sarana bagi kita untuk mengkaji dan berfikir, hingga sampai kepada aqidah yang benar. Tentunya, setelah itu, peran akal tidak lagi hanya memikirkan dan mengkaji alam semesta, melainkan juga memikirkan dan mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah untuk memahami apa yang diwahyukan oleh Allah.
Kita sebagai hamba Allah sudah semestinya menjalani kehidupan ini berdasarkan pada perintah-perintah dan larangan-Nya sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya: “Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku” (Qs. Adz Dzariyat : 56)
Makna ibadah di sini adalah mengikatkan diri (iltizam) kepada hukum-hukum syara’ secara keseluruhan, yaitu mubah, sunnah (mandub), wajib (fardhu), makruh, dan haram.
Bila kita mencoba memahami secara mendalam perintah-perintah dan larangan-larangan (syara’), akan kita dapati bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan itu mengandung hukum taklif yang lima. Perintah adalah untuk hukum wajib, mandub dan mubah. Sedangkan larangan untuk hukum haram dan makruh.
Dalam hal-hal yang mubah, seorang muslim berhak memilih darihal-hal tersebut apa yang diinginkannya, yang sesuai dengan akal dan kepentingan dirinya.
Dalam hal-hal yang sunnah, seorang muslim berusaha keras melaksanakannya. Dalam hal-hal yang makruh, seorang muslim hendaknya berusaha keras meninggalkannya, kendatipun hal-hal makruh ini tak sesuai dengan keinginannya serta tidak sesuai akal dan kepentingannya.
Hal ini karena dalam hal-hal tersebut (mengerjakan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh) ada pahala bagi seorang muslim dari Rabbnya, dan apabila tidak melaksanakan hal-hal tersebut (yakni meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh) maka dia akan rugi tidak mendapat pahala, meskipun tidak ada dosa atasnya.
Adapun dalam larangan-larangan syara’ (hal-hal yang haram) maka seorang muslim harus meninggalkan semua larangan-larangan itu, kecuali terdapat rukhshah syar’iyah (rukhshah yang dibenarkan oleh syara’) seperti memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa (memakannya).
Jadi, dalam Islam ada lima hukum atas perbuatan kita. Tidak ada satupun dari perbuatan kita yang tidak terkait dengan salah satu dari lima hukum tersebut. Karenanya, apapun perbuatan kita, pasti terkait dengan salah satu hukum tersebut. Tidak ada perbuatan yang tidak atau belum ada hukumnya. Jika kita belum mengetahui hukum dari setiap amal perbuatan kita, maka kita wajib mencari ilmunya.
Jika kita sudah memahami bersama bahwa setiap perbuatan ada hukumnya, tentu kita seharusnya mengerjakan yang wajib dan sunnah saja dan boleh mengerjakan yang mubah. Makruh juga boleh dikerjakan, karena tidak menyebabkan kita berdosa ketika melakukannnya, tetapi akan berpahala jika meninggalkannya. Karena itu, meski boleh saja melakukan yang makruh, tetap meninggalkannya adalah lebih baik. Rugi menghabiskan waktu untuk melakukan sesuatu jika meninggalkannya mendapatkan pahala. Begitu juga dengan yang sunnah, sekalipun tidak berdosa ketika kita tinggalkan, tetapi pada hakikatnya kita rugi jika tidak melakukannya, rugi tidak mendapatkan pahala. Apalagi jika jelas-jelas amal itu wajib, maka sehaarusnya diutamakan dibanding yang lain. Yang jelas tidak boleh dikerjakan sedikitpun adalah yang haram, karena pasti kita akan mendapatkan dosa ketika melakukannya. Dan akan mendapatkan pahala jika mampu meninggalkannya di saat godaan menghampiri.
Pembahasan lebih lanjut, ada aulawiyatul-amal dalam pembahasan fiqih, artinya prioritas perbuatan. Perbuatan mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan. Perbuatan mana yang harus dikerjakan dan harus ditinggalkan.
Memilih Dua Perbuatan dengan Hukum Berbeda
Jika dalam satu kesempatan ada dua perbuatan yang harus kita pilih salah satunya, mana yang lebih kita dahulukan jika yang satu wajib dan satunya sunnah? Tentu kita akan mendahulukan yang wajib. Misalnya, jika suatu malam kita terlalu lelah sehingga terlupa shalat isya sebelum tidur, dan baru bangun menjelang shubuh. Kita ingin shalat tahajjud dan juga kita harus shalat isya, maka yang didahulukan adalah shalat isya, meskipun setelah itu kita tidak sempat shalat tahajjud. Jangan sebaliknya, shalat tahajjud didahulukan, setelah itu tidak sempat shalat isya. Ini prioritas yang keliru.
Memilih Dua Perbuatan dengan Hukum Sama
Jika berbenturan antara dua perbuatan yang memiliki tingkat hukum berbeda, memang mudah bagi kita untuk memilih yang lebih baik di antara keduanya. Antara wajib dan sunnah, tentu kita memilih wajib. Antara sunnah dan mubah, pastilah kita mendahulukan yang sunnah. Antara mubah dan makruh, sudah tentu kita mengambil yang mubah dan meninggalkan yang makruh. Apalagi jika ada pilihan yang haram, sekuat apapun kita pasti akan meninggalkan keharaman tersebut.
Selanjutnya, bagaimana jika benturan itu terjadi antara dua perbuatan yang memiliki tingkatan hukum sama, seperti wajib dengan wajib, sunnah dengan sunnah, mubah dengan mubah, makruh dengan makruh dan haram dengan haram?
Sunnah dengan Sunnah, Mubah dengan Mubah
Jika pilihannya antara sunnah dengan sunnah atau mubah dengan mubah, kita dapat menentukan mana yang paling kita sukai, atau mana yang paling besar manfaatnya. Atau jika (mungkin) mengandung mudharat, maka pilihlah yang paling kecil mudharatnya.
Haram dengan Haram
Jika pilihannya haram dengan haram, maka jangan sampai kita memilih salah satunya. Bagaimanapun kita wajib meninggalkan keduanya. Dalam hal ini, tidak berlaku lagi mana yang paling besar manfaatnya ataupun yang paling kecil mudharatnya. Besarnya manfaat tidak akan membuat sesuatu yang haram menjadi boleh dilakukan. Begitupun dengan kecilnya mudharat, tetap tidak akan membuat sesuatu yang haram menjadi boleh dilakukan. Hukum Allah tidak bisa dikalahkan oleh manfaat atau mudharat, karena manfaat dan mudharat yang tampak hanyalah menurut sudut pandang manusia saja. Padahal manusia tidak mengetahuinya, hanya Allah-lah yang Maha mengetahui.
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah 216)
Jika dihitung dari aspek manfaat dan mudharat, tentu perang akan menimbulkan banyak mudharat dan sedikit manfaat dalam pandangan manusia. Lihat saja gedung-gedung yang terbakar, darah yang berceceran, mayat bergelimpangan, kepala yang terlepas dari badannya, tentu semua itu tidak bisa dikatakan sebagai manfaat, bukan?
Karena itu jika terjadi benturan dua perbuatan yang sama-sama haram, kita tidak boleh memilih satupun darinya, meskipun paling sedikit mudharatya atau paling banyak manfaatnya. Karena pada hakikatnya Allah yang lebih tahu apa yang membawa manfaat dan apa yang membawa mudharat. Dan Hanya mengikuti hukum Allah lah yang pasti mengandung maslahat
Wajib dengan Wajib
Fardhu ‘Ain dengan Fardhu Kifayah
Syara’ telah menetapkan adanya dua macam kewajiban: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Fardhu ‘ain adalah kewajiban yang dituntut oleh syara’ dari tiap-tiap individu, dan kewaajiban ini tidak akan gugur dari tiap-tiap individu itu walaupun seluruh kaum muslimin (yang lain) melaksanakannya.
Sedangkan Fardhu kifayah adalah kewajiban yang jika telah sempurna dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka gugurlah kewajiban itu dari kaum muslimin yang lain.
Pada dasarnya, seorang muslim harus mengerjakan yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Akan tetapi, bila kedua macam kewajiban ini berbenturan pada kondisi-kondisi tertentu, dalam bila dilaksanakan salah satunya maka kewajiban yang lain tidak dapat dilaksanakan, maka dalam kondisi0kondisi seperti ini fardhu ain didahulukan dari pada fardhu kifayah.
Perlu diperhatikan di sini, bahwa fardhu kifayah kadang-kadang dapat berubah statusnya menjadi fardhu ain dalam kondisi-kondisi tertentu. Shalat jenasah, misalnya, hukumnya fardhu kifayah. Tetapi bila hanya ada satu orang selain jenasah itu, maka shalat jenasah menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut. Contoh lain, bila seseorang tertabrak kendaraan, maka memberi pertolongan kepadanya adalah fardhu kifayah, akan tetapi bila tak ada orang sama sekali di tempat kecelakaan itu kecuali hanya dua orang, sementara bila hanya sendirian tak akan mampu memberikan pertolongan, maka dalam hal ini memberi pertolongan kepadanya menjadi fardhu ‘ain atas kedua orang tersebut, demikian seterusnya.
Fardhu ‘Ain dengan Fardhu Ain
Adanya kondisi bila beberapa fardhu ‘ain berbenturan, dalam arti kita tidak mampu mengerjakan semuanya, sehingga kita hanya mampu mengerjakan sebagiannya saja. Di sini muncul pertanyaan:
“Apakah kita berhak memilih untuk mengerjakan fardhu-fardhu yang akan dikerjakannya? Ataukah syara’lah yang menetapkan peringkat-peringkat aulawiyat (prioritas pelaksanaan hukum syara’) dan kita sebagai seorang muslim harus terikat dengannya?”
Jawabnya adalah bahwa masalah ini bukanlah masalah hak untuk memilih dan bukan pula dikembalikan pada pilihan seseorang, tetapi hal ini adalah masalah syar’iyah (masalah yang ditetapkan oleh hukum syara’).
Kalau misalnya seseorang mempunyai hutang yang harus dilunasi, sementara keluarganya mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, namun dia tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi dua hal tadi, maka manakah diantara dua kewajiban ini yang harus didahulukan? Melunasi hutang yang telah tiba waktunya adalah fardhu ‘ain atasnya dan memberi nafkah bagi keluarganya adalah fardhu ‘ain pula atasnya. Sementara jumlah uang yang ada tidak mencukupi kecuali hanya untuk satu di antara dua kewajiban tadi. Dalam hal ini syara’ mendahulukan pemberian nafkah bagi keluarga daripada pelunasan hutang, apabila pemberian nafkah bagi keluarga adalah pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat dlaruriyaat (kebutuhan primer: yakni sandang, pangan dan papan). Tetapi syara’ mendahulukan pelunasan hutang apabila pemberian nafkah bagi keluarga adalah kebutuhan yang bersifat kamalliyaat (kebutuhan pelengkap).
Dengan demikian, syara’lah yang menetapkan peringkat aulawiyaat pada saat beberapa kewajiban berbenturan pada seorang muslim. Akan tetapi, peringkat ini tidaklah jelas benar dalam arti telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin Bahkan pada umumnya, penetapan peringkat ini membutuhkan ijtihad. Dan seorang mujtahid akan mendapatkan dua pahala bila ijtihadnya benar, dan satu pahala bila salah. Yang penting, kita harus mengetahui bahwa hal ini adalah perkara syar’iyah yang membutuhkan ijtihad dan bukan masalah hak untuk memilih atau selera. Semoga kita bisa beraktivitas dengan memahami prioritas amal ketika terjadi benturan antara dua perbuatan atau lebih. Semoga dapat membimbing kita menjadi orang yang baik amalnya, bukan sekedar banyak amalnya. Insya Allah... ”Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya” (QS. Al-Kahfi: 7)