Sebab-Sebab Futur (Lemahnya Iman)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al Ahzab : 70-71).
Hamba yang bertaqwa (mutaqin) adalah hamba yang beruntung di dunia dan akhirat, kondisi ini hanya didapati pada hamba yang beriman kepada Allah yang senantiasa dalam ketaatan pada-Nya. Mengkondisikan diri untuk selalu taat bukanlah hal yang mudah, karena tiap manusia memiliki potensi untuk melemah keimanannya (futur). Sesungguhnya frnomena future termasuk sesuatu yang sudah merebak dan menyebar luas dikalangan kaum muslim. Adapun penyebab kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
Pertama: Menjauhi lingkungan yang sudah tercipta iklim keimanan hingga jangka waktu yang lama. Allah telah berfirman: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Hadiid:16).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa sekian lama menjauhi iklim keimanan bisa mengakibatkan lemah iman di dalam hati. Jika perbuatan menjauhi iklim keimanan ini terus berkelanjutan, akhirnya akan menimbulkan kekhawatiran yang lama-kelamaan dapat mendorong untuk meninggalkan sama sekali iklim keimanan tersebut, hati menjadi kesat dan pekat karenanya cahaya iman pun menjadi redup. Apabila seorang muslim harus pergi dari lingkungan yang telah tertata keimanannya menuju wilayah yang masih semrawut untuk suatu keperluan, maka ia harus merintis daerah tersebut hingga tercipta iklim keimanan disana dengan cara seperti inilah ia akan bertahan bahkan dapat menambah kualitas imannya.
Kedua: Menjauhi pelajaran dan keteladanan yang baik. Seseorang yang berguru kepada orang yang shalih, maka dia bisa memadukan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan iman yang kuat. Dia bisa menyerap ilmu, akhlak dan keutamaan-keutamaan gurunya. Andaikata dia menjauhinya hingga sekian lama, dia pun akan merasakan kekerasan di dalam hatinya.
Maka tatkala Rasulullah SAW meninggal dunia dan jasadnya telah dikubur, maka para shahabat berkata, “Hati kami tidak bisa menerima ini”. Mereka dilanda ketakutan dan kekhawatiran. Sebab pendidik, guru, dan teladan mereka telah meninggal dunia. Maka ada diantara mereka yang mensifati diri mereka laksana domba di tengah malam buta dan dingin. Tetapi beliau telah meninggalkan gunung-gunung yang tegar sesudah itu. Masing-masing di antara mereka layak sebagai pemimpin, sehingga sebagian mereka bisa menjadi teladan bagi sebagian yang lain. Tetapi pada saat sekarang, kaum muslim sangat membutuhkan teladan yang benar-benar dekat dengannya.
Ketiga: Tidak mau mencari ilmu syari’at, menyebabkan minimnya ilmu yang diketahui dan dipahami sehingga keimanannya dangkal dan minimnya amal. Hal tersebut dapat menjadikan seseorang merasa bosan dan semakin jauh dari Rabb-nya yang mengakibatkan terkikisnya iman dan menjerumuskan pada kondisi futur.
Keempat: Tenggelam dkesibukan duniawi, sehingga hati manusia menjadi hamba keduniaan tersebut. Rasulullah SAW bersabda: “Sengsaralah hamba dinar dan dirham” (HR. Bukhari). Tidaklah layak bagi hamba Allah untuk hanyut ataupun menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, karena sesungguhnya Allah memberikan kesempatan hidup di dunia ini bukan untuk dinikmati kesenangannya, tetapi menjadikan dunia sebagai tempat mempersiapkan bekal yang seluas-luasnya untuk kehidupan akhirat nanti, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Cukuplah bagi salah seorang diantara kamu selagi di dunia hanya seperti bekal orang yang mengadakan perjalanan” (HR. At-Tabrani). Jadi tidak layak bagi hamba untuk terlena dalam perjalanan dengan berlama-lama atau bahkan ingin tetap di sana, tetapi haruslah ia senantiasa focus pada tujuannya yakni kehidupan yang kekal abadi, penuh kenikmatan yang tidak terjangkau oleh indra manusia yaitu kebahagiaan hidup di akhirat nanti.
Fenomena ini tampak jelas didepan mata pada masa sekarang, manusia mengutamakan materi dan kerakusan untuk menambah terus kekayaan dunia, sehingga orang-orang hanya sibuk perniagaan, industry dan saham. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah berfirman, “Sesungguhnta Kami menurunkan harta untuk menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Andaikata anak keturunan Adam sudah memiliki satu lembah, tentu lebih suka untuk ditambah lagi dengan lembah kedua. Adaikata dia sudah memiliki dua lembah, tentu dia lebih suka untuk ditambah lagi dengan lembah ketiga. Dan, perut anak Adam tidak diisi kecuali tanah, kemudian Allah memberikan ampunan kepada siapa yang meminta ampunan” (HR Ahmad).
Kelima: Sibuk mengurus harta benda, istri dan anak-anak. Allah berfirman tentang hal ini: “Dan, ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan” (Al-Anfal : 28).
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali Imran : 14).
Makna ayat ini, bahwa kecintaan terhadap hal-hal yang disebutkan di dalamnya, khusyusnya istri dan anak-anak, jika diprioritaskan daripada kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka itu merupakan perbuatan yang menjadikan pelakunya tercela. Tetapi kalaupun mencintai hal-hal tersebut sesuai dengan tuntunan syari’at yang sudah baku dan didasarkan kepada ketaatan kepada Allah, maka pelakunya adalah orang yang terpuji sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW: “Dijadikan senang kepadaku dari dunia, wanita dan wewangian, sedangkan kesenangan hatiku dijadikan di dalam shalat” (HR. Ahmad).
Saat ini banyak para suami yang mengekor di belakang istrinya dalam melanggar hal-hal yang diharamkan dan tunduk oleh kemauan anak-anaknya, sehingga dia tidak lagi taat kepada Allah. Nabi SAW pernah bersabda, “Anak itu bisa mendatangkan duka, lemah hati bodoh, dan bahil” (HR. Ath-Thabrani).
Perkataan beliau didalam hadits ini, “mendatangkan kebahilan”, maksudnya jika seseorang hendak mengeluarkan harta di jalan Allah, maka syetan mengingatkan dirinya kepada anka-anaknya, lalu iapun berkata, “Anak-anakku lebih berhak terhadap harta ini. Maka aku harus menisakan bagi mereka, karena mereka jauh lebih membutuhkannya sesudah aku mati”. Sehingga akhirnya ia pun menjadi bahil untuk menshadaqahkannya di jalan Allah.
Perkataan beliau: “mendatangkan lemah hati”, maksudnya jika seseorang hendak berjihad di jalan Allah maka syetan mendatanginya seraya berbisik, “Engkau akan berperang lalu mati terbunuh, sehingga anak-anakmu menjadi yatim”, Akhirnya dia pun mengurungkan niatnya untuk pergi berjihad.
Perkataan beliau: “Mendatangkan kebodohan”, maksunya seorang ayah menjadi malas mencari ilmu dan mendatangi berbagai majlis serta membaca berbagai kitab.
Perkataan beliau: “mendatangkan duka”, maksudnya jika sang anak sakit, tentu dia akan merasa berduka, dan jika sang anak meminta sesuatu yang dua tidak mampu menurutinya, tentu dia akan merasa sedih.
Ini bukan berarti seseorang tidak boleh menikah, mempunyai anak, dan tidak perlu mendidik anak-anaknya. Tetapi hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang hanya menyibukkan diri dengan urusan-urusan tersebut. Sedangkan tentang cobaan harta benda, maka Nabi SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya setiap umat itu mempunyai cobaan, dan cobaan umatku adalah harta benda” (Ath-Thirmidzi).
Ambisi untuk memiliki harta jauh lebih merusak agama daripada seekor serigala yang mebguasai kandang domba. Inilah makna perkataan Nabi SAW, “Tidaklah dua ekor serigala kelaparan yang dilepas untuk memburu seekor domba, lebih rusak daripada hasrat seseorang untuk memiliki harta dan kedudukan bagi agamanya” (Ath-Tirmidzi).
Maka dari itu, Nabi SAW menganjutkan agar banyak-banyak mengingat Allah dan beiau menyampaikan ancaman kepada orang yang menumpuk harta kecuali orang yang mau mengeluarkan shadaqah. Beliau bersabda: “Kecelakaan bagi orang-orang yang memperbanyak hartanya kecuali orang-prang yang berkata terhadap harta itu, ‘Begini, begini, begini, dan begini, empat kalinya dia mau mengeluarkan shadaqah dan untuk kebaikan dari harta tersebut’” (HR. Ibnu Majah).
Keenam: Berangan-angan yang serba muluk-muluk. Tentang hal ini Allah berfirman: “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS. Al Hijr : 3). Sahabat Ali ra. Pernah berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas diri kamu sekalian ialah mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang muluk-muluk. Sedangkan tentang mengikuti hawa nafsu, maka dia akan menghalangi dari kebenaran, sedangkan angan-angan yang muluk-muluk, maka ia akan melupakan akhirat”.
Juga pernah disebutkan dalam sebuah atsar, “Empat perkara yang termasuk penderitaan, yaitu kejumudan mata, kekerasan hati, angan-angan yang muluk-muluk, dan ambisi terhadap kehidupan”.
Angan-angan yang serba muluk-muluk akan melahirkan kemalasan untuk taat, meremehkan taubat, hanya berhasrat pada dunia semata, melalaikan akhirat dan menimbulkan kekerasan di dalam hati. Sebab kebersihan hati hanya terjadi jika mengingat mati, kubur, pahala, dan siksa pada hari kiamat, sebagaimana difirmankan Allah SWT: “Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” (QS. Al Hadiid : 16).
Ketujuh: Berlebih-lebihan dalam masalah makanan, tidur, berjaga pada waktu malam, berbicara, dan bergaul. Banyak makan bisa melemahkan pikiran dan badan merasa berat sehingga malas untuk melakukan amal tha’ah kepada Allah, lalu ia pun menjadi sarang bersemayam syetan, sebagaimana yang seringkali dikatakan: “Barangsiapa yang banyak makan danbanyak minum, maka dia akan banyak tidur dan tidak akan mendapatkan pahala yang besar”.
Berlebih-lebihan berbicara bisa membuat hati menjadi kera. Berlebih-lebihan dalam bergaul bisa membuat lupa diri dan tidak mau melihat urusan dirinya. Banyak tertawa dalam pergaulannya dengan orang lain juga akan mengikis materi kehidupan dalam hati lalu hati pun manjadi mati, sebagaimana yang dikatakan Nabi SAW: “janganlah kamu sekalian memperbanyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati” (HR. Ibnu Majah).
Begitu pula waktu yang tidak diisi dengan ketaatan kepada Allah yang akhirnya membuat hati menjadi kesat, tidak akan mempan jika diisi dengan peringatan Al-Qur’an. Jika sebab-sebab tersebut mulai ada pada diri seorang muslim, berarti ia tengah mengalami kemunduran iman selangkah demi selangkah. Futur adalah hasil akhirnya, oleh karena itu sebab-sebab tersebut harus segera disingkirkan dan disembuhkan kembali keimanannya.
0 comments:
Post a Comment