Feb 14, 2012

FUTUR (Kondisi Saat Iman Melemah) --- Bagian Pertama

Keimanan manusia kepada Rabb-nya bukanlah hal yang statis, ia dapat menguat dan dapat pula melemah. Tentunya kondisi yang terbaik adalah iman yang senantiasa menguat, mengakar, dan menjadikan kita sebagai hamba yang muttaqin, namun tidak dipungkiri peluang melemahnya iman dapat menghinggapi siapa saja. Perubahan-perubahan yang terjadi, bukanlah hal yang singkat, namun berupa proses panjang yang sebenarnya dapat kita kendalikan. Ibarat penyakit, mengenali fenomenanya, mengetahui penyebabnya serta penguatan kembali iman yang melemah secara dini akan menyelamatkan kita dari lemah iman yang dapat membalikkan manusia dari kondisi iman kepada kondisi tidak iman.
 
Sesunggunya seorang muslim yang tengah mengalami futur (kondisi imannya melemah) itu mempunyai beberapa perangai dan fenomena, diantaranya:

Pertama
Melakukan kedurhakaan dan dosa. Diantara orang-orang yang durhaka ada orang yang melakukan satu jenis kedurhakaan, namun dia melakukannnya secara terus menerus. Di antara mereka ada pula yang mengerjakan berbagai jenis kedurhakaan. Terlalu sering melakukan kedurhakaan bisa berubah menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan, kemudian segala bentuk keburukan kedurhakaan itu akan tampak sirna dari hati secara perlahan-lahan, dan akhirnya pelakunya berani berbuat secara terang-terangan, sehingga dia termasuk yang disebutkan dalam hadits ini: “Setiap umatku mendapat perlindungan afiat kecuali orang-orang yang terang-terangan. Dan, sesungguhnya termasuk perbuatan terang-terangan jika seseorang melakukan suatu suatu perbuatan pada malam hari, kemudian dia berada pada pagi hari padahal Allah telah menutupinya, namun dia berkata, “Hai fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begini”, padahal sebelum itu rabb-nya telah menutupinya, namun kemudian dia menyibak sendiri apa yang telah ditutupi Allah pada dirinya” (HR. Bukhari).
 

Kedua
Merasakan adanya kekerasan dan kekakuan hati, karena perasaan ini seseorang merasakan seakan-akan hatinya telah berubah laksana batu keras yang tidak bisa diusik dan dipengaruhi sesuatu pun. Allah telah berfirman:

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (QS. Al Baqarah : 74).

Orang yang hatinya keras tidak bisa dipengaruhi oleh nasihat tentang kematian, tidak pula terpengaruh tatkala dia melihat orang mati atau mayat yang membujur. Bahkan boleh jadi dia sendiri yang mengangkat mayat itu dan menguburnya, tetapi langkah-langkah kakinya diantara sekian banyak kubur tak ubahnya langkah-langkah kakinya diantara onggokan-onggokan bebatuan.

Ketiga
Tidak tekun dalam beribadah. Gambarannya adalah seperti kondisi yang tidak khusyuk’ saat shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa tetapi tidak menyimak dan memikirkan makna doa sehingga membacanya hanya berdasarkan rutinitas sehingga berlalu tanpa makna. Padahal Allah tidak menerima doa yang dibaca hanya sekedarnya saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ath-Thirmidzi: “Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main”.

Keempat
Malas untuk melakukan amal tha’ah dan ibadah serta meremehkannya. Kalau pun ibadah tersebut dilakukan, itu hanya sekedar aktivitas kosong, tidak memiliki ruh. Allah telah mensifati orang-orang munafik dalam firmannya:

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas” (QS. An Nisa’ : 142).

Termasuk dalam kelompok perbuatan ini ialah tidak mempedulikan hilangnya tanda-tanda kebaikan dan meremehkan waktu-waktu yang tepat untuk beribadah. Hal ini menunjukkan tidak adanya perhatian seseorang untuk mendapatkan pahala dari Allah, seperti menunda-nunda pelaksanaan haji, padahal dia mampu, menunda-nunda shalat berjama’ah, shalat jum’at. Padahal Rasulullah SAW pernah berkata: “Masih ada saja segolongan orang yang menunda-nunda mengikuti shaff pertama, sehingga Allah pun menunda-nunda keberadaan mereka di dalam neraka” (HR. Abu Daud).

Gambaran hamba semacam ini, perasaannya sama sekali tidak tersentuh jika dia tertidur hingga meninggalkan shalat wajib, begitu pula jika dia ketinggalan melakukan sunah rawatib atau wirid. Dia juga tidak berhasrat mengganti ketinggalan-ketinggalannya, bahkan boleh jadi ia sengaja meninggalkan yang sunnah atau fardhu kifayah, tidak berkeinginan menghadiri shalat jenazah, tidak berkeinginan mendapatkan pahala dan tidak membutuhkannya. Gambaran ini bertentangan dengan hamba-hamba yang telah disifati Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kam dengan harap cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusuk kepada Kami” (QS. Al Anbiya : 90).

Kelima
Dada yang terasa sesak, perubahan perangai dan tabiat yang terbelenggu, sehingga seakan-akan seseorang merasakan beban berat yang menghimpitnya. Sehingga ia cepat gelisah karena suatu masalah yang remeh saja, merasakan sumpek karena tingkah laku orang-orang yang ada di sekitarnya dan kelapangan hatinya menjadi sirna. Nabi SAW telah mensifati iman sebagai berikut: “Iman itu ialah kesabaran dan kelapangan hati”.

Keenam
Tidak tersentuh oleh kandungan ayat-ayat Al Qur’an, tidak pula oleh janji, ancaman, perintah, pensifatan kiamat, dll. Orang yang lemah imannya akan menjadi bosan dan malas untuk mendengar kandungan Al-Qur’an dan tidak berusaha untuk membuka dirinya berhubungan secara langsung dengan bacaan Al-Qur’an.

Ketujuh
Melalaikan Allah dalam hal berdzikir dan berdo’a kepada-Nya. Sehingga hal tersebut menjadi pekerjaan yang paling berat baginya. Jika mengangkat tangan untuk berdo’a, maka secepat itu pula ia menelungkupkan tangannya dan menyudahinya. Allah telah mensifati orang-orang munafik dalam firman-Nya: “Dan mereka tidak menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali” (QS, An Nisa’ : 142).

Kedelapan
Tidak merasa marah jika ada pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Sebab bara al ghirah dalam hatinya telah padam, sehingga anggota tubuhnya tidak mampu lagi mengingkari pelanggaran tersebut, tidak menyuruh kepada yang ma’ruf dan tidak mau melarang dari yang munkar, serta tidak ada perubahan rona di wajah sama sekali. Rasulullah SAW telah mensifati hati yang dijangkiti kelemahan dalam sebuah hadits sahih: “Cobaan itu ditampakkan kepada hati layaknya tikar, sepotong demi sepotong. Mana hati yang paling banyak masuk ke dalamnya secar utuh, maka di situ akan diberi satu titik hitam, hingga menjadi keabu-abuan seperti sibuk yang terbalik, tidak mengakui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali menurut kehendak hawa nafsunya ” (HR. Muslim). Di dalam hati orang seperti ini sudah tidak ada lagi kecintaan terhadap yang ma’ruf dan kebencian kepada yang mungkar. Segala urusan dianggap sama, lalu untuk apa dia harus menyuruh dan melarang? Bahkan boleh jadi dia mendengar kemungkaran di suatu tempat, dan dia jadi meridhainya. Sudah tentu dia mendapat dosa seperti dosa orang yang menyaksikan dan mengakuinya.

Kesembilan
Gila hormat dan suka publikasi, beramal ingin pujian manusia, ingin tampil sebagai pemimpin dan orang yang menonjol tanpa diiringi kemampuan untuk bertanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya kamu sekalian akan berhasrat mendapat kepemimpinan, dan hal ini akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Maka alangkah baiknya yang pertama dan alangkah buruknya yang terakhir” (HR. Bukhari).

“Jika kamu sekalian menghendaki, akan kukabarkan kepadamu tentang kepemimpinan dan apa kepemimpinan itu. Pada awalnya ia adalah cela, keduanya ia adalah penyeslan dan ketiganya ia adalah adzab hari kiamat kecuali orang yang adil” (HR. Ath-Thabrani).

Kesepuluh
Bakhil dan kikir. Allah telah memuji orang-orang Anshar dalam kitab-Nya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipyn mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr:9).

Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang menepiskan kekikiran dirinya. Tidak dapat diragukan bahwa lemah iman akan melahirkan sifat kikir sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sifat kikir dan iman tidak akan bersatu dalam hati seorang hamba selama-lamanya” (HR. An Nasa’i). Orang yang lemah imannya enggan mengeluarkan hartanya, mereka tidak mau memberikan hak hartanya, mereka beranggapan dengan kikir akan menguntungkan karena hartanya tidak berkurang. Padahal anggapan mereka ini adalah salah besar. “Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)” (QS. Muhammad : 38).

Kesebelas

Mengatakan apa yang tidak diperbuatnya. Dalam hal ini Allah telah berfirman:”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat” (QS. Ash Shaff : 2-3). Tidak diragukan, hal ini termasuk nifaq. Ucapan seseorang yang tidak ada kesesuaian dengan perbuatannya adalah orang yang amat dibenci Allah dan juga dibenci manusia. Para penghuni neraka akan menyibak hakikat orang yang menyuruh kepada yang ma’ruf tapi dia tidak melakukannya dan melarang dari yang munkar, tapi justru melakukannya.

Keduabelas
Merasa senang dan gembira jika ada saudaranya sesame muslim mengalami kegagalan, merugi, mendapat musibah atau tidak jadi mendapat nikmat. Dia merasa senang karena nikmat tersebut telah hilang dan sesuatu yang membuat orang lain dapat mengunggulinya telah sirna.

Ketigabelas
Mencela yang ma’ruf fan tidak mau memperhatikan kebaikan-kebaikan yang kecil. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda: “Janganlah kamu mencela yang ma’ruf sedikitpun, meski engkau menuangkan embermu ke bejana seseorang yang hendak menimba air, dan meski engkau berbicara dengan saudaramu sedangkan wajahmu tampak berseri kepadanya”. Seseorang yang mencela perbuatan-perbuatan baik yang sederhana dan kecil, berarti dalam jiwanya terdapat keburukan dan ruang kosong yang akan ia terima ialah tidak mendapatkan keistimewaan yang besar., sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menyingkirkan  gangguan dari jalan orang-orang muslim, maka ditetapkan satu kebaikan baginya, maka ia akan masuk surga” (HR. Bukhari).

Keempatbelas
Tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin dan tidak mau melibatkan diri dalam urusan-urusan tersebut, tidak mau berdoa bagi kepentingan mereka, tidak mau bershadaqah, perasaannya dingin dan membeku melihat musibah yang menimpa saudara-saudaranya. Dia hanya mementingkan keselamatan diri sendiri. Fenomena ini bertentangan dengan sifat seorang mukmin “Sesungguhnya orang mukmin dari sebagian orang-orang yang memiliki iman adalah laksana kedudukan kepala dari sebagian badan. Orang mukmin itu akan menderita karena karena keadaan orang-orang yang mempunyai iman sebagaimana jasad yang ikut menderita karena keadan di kepala”.

Kelimabelas
Tidak merasa tergugah tanggungjawabnya untuk beramal demi kepentingan Islam, tidak mau berusaha untuk menyebarluaskan dan menolongnya. Keadaan ini berbeda jauh dengan para shahabat Nabi SAW, yaitu setelah mereka masuk Islam langsung terbuka tanggungjawabnya. Seorang pemuda, Ibnu Amr ra langsung beranjak melakukan dakwah kepada kaumnya sesaat setelah dia masuk Islam, tetapi mayoritas orang-orang pada zaman sekarang hanya duduk tenang-tenang dan tidak memiliki rasa tanggungjawab untuk melakukan dakwah meskipun sudah sekian lama dia sebagai muslim.

Keenambelas
Resah dan takut tatkala ditimpa musibah atau menghadapi problem yang berat, gemetar, labil, pucat, meredup pandangannya, mendung menggelantung di wajahnya, dia tidak dapat menghadapi realitas dengan tabah dan hati yang tegar. Hal iini karena imannya yang lemah.

Ketujuhbelas
Banyak berbantah-bantahan dan berdebat yang justru membuat hati menjadi keras serta kaku. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah segolongan orang menjadi sesat sesudah ada petunjuk yang mereka berada pada petunjuk itu kecuali jika mereka suka berantah-bantahan” (HR. Ahmad). Berbantah-bantahan tanpa disertai argumentasi dalil dan tujuan yang benar hanya akan menjauhkan dari jalan yang lurus. Berapa banyak perdebatan dengan cara batil yang dilakukan orang pada masa sekarang. Mereka berdebat tanpa dilandasi pengetahuan, petunjuk dan keterangan yang jelas.

Kedelapanbelas
Bergantung kepada keduniaan, menyibukkan diri padanya dan merasa tenang karenanya. Hati orang seperti ini selalu bergantung kepada unsur-unsur keduniaan, sehingga ia akan merasakan suatu penderitaan jika dia kehilangan sedikit saja dari bagian keduniaan itu, seperti harta benda, kedudukan, kehormatan, dan tempat tinggal, lalu ia mengganggap dirinya tertipu dan terkecoh serta turut statusnya karena ia tidak mendapatkan seperti apa yang didapat orang lain. Akhirnya dia hanya bisa mendengki dan berangan-angan mendapatkan nikmat yang terlepas dari tangannya.

Kesembilanbelas
Berlebih-lebihan dalam memperhatikan diri sendiri, baik dalam masalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun kendaraan.

Ketika fenomena-fenomena tersebut tercirikan pada diri seorang muslim, berarti ia telah dihinggapi kondisi lemah iman yang menjadikannya selangkah demi selangkah menjauh dari rahmat Allah SWT, bahkan dapat menghantarkan pada murka Allah, Nau’dzubillahi Min Dzalik.

0 comments: