"Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang LEBIH BAIK AMALNYA. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk : 1 – 2)
Allah swt. menciptakan manusia untuk hidup di dunia
ini bukanlah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya. Salah satu tujuannya
adalah untuk menguji manusia dimana nilai ujian manusia ditentukan oleh perbuatan
(amal) yang dilakukannya di dunia. Sedangkan nilai amal bukanlah ditentukan
oleh banyak atau besarnya perbuatan yang kita lakukan, melainkan dinilai dari
ihsan (baik) tidaknya amal perbuatan tersebut.
Bagaiman
kriteria amal yang ihsan (baik) itu?
Amal itu akan menjadi amal yang baik atau amal shalih
(berkualitas hasan) jika dan hanya
jika dilakukan dengan ikhlas kepada Allah swt. dan benar (shawab) yaitu bersumber kepada sunnah Rasulullah saw.. Dengan kata
lain, amal yang ‘ihsan’ adalah apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu
perbuatan itu diniatkan secara murni kepada Allah dan dikerjakan sesuai dengan
hukum syara’.
Al-Fudlail bin ‘Iyadl rahimahullah dalam menjelaskan firman Allah swt. pada QS. Al Mulk
di atas, mengatakan, “Yang terbaik amalnya adalah yang terikhlas dan terbenar
amalnya.” Ketika ditanya : ‘Wahai Abu Ali apa yang terikhlas dan terbenar?” Dia
menjawab, “Sesungguhnya amal yang benar tetapi tidak dilakukan dengan
ikhlas tidak akan diterima. Dan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi dengan cara
yang tidak benar tidak akan diterima. Amal itu hanya bisa diterima kalau ikhlas
lagi benar. Ikhlas hanya bisa terwujud jika amal itu dilakukan hanya karena
Allah. Dan amal yang benar hanya bisa dicapai dengan mengikuti sunnah Nabi
SAW.”
1. Ikhlas
kepada Allah swt.
Imam Abi Al-Qasimy Al-Qusyairiy mengatakan, “Ikhlas
adalah menjadikan tujuan taat satu-satunya hanyalah kepada Allah swt., Yang
Maha Benar.” Oleh karenanya, seorang mukmin yang beramal karena ikhlas kepada
Allah akan menjadikan setiap aktivitasnya sebagai jalan untuk meraih keridha’an
Allah semata. Dengan keikhlasan ini, setiap amal ketaatan yang dilakukan
olehnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan yang lain, seperti:
mengharapkan materi atau hal-hal yang bersifat keduniawian, mengharapkan pujian
orang lain, atau makna lain selain taqarrub kepada Allah Ta’ala.”
Muara ikhlas adalah niat, karena setiap perbuatan itu
tergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang adalah sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Dengan demikian agar amal kita diterima disisi Allah, kita harus
berusaha untuk memurnikan niatan kita dalam beramal, semata-mata untuk meraih
ridha’nya, bukan yang lain.
Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima
suatu amal kecuali dengan ikhlas dan dengannya mengharap wajah-Nya”
(HR. Nasa’i). Beliau saw. juga bersabda: “Barang siapa yang belajar ilmu untuk
membantah ‘ulama’, membodohi orang awam dan untuk memalingkan pujian manusia
kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” (HR Ibnu Majah).
2. Benar (shawab), sesuai tuntunan Rasulullah saw.
Suatu perbuatan dikatakan benar bila sesuai dengan
yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Imam Malik berkata, “Sunnah itu bagaikan
perahu nabi Nuh ‘alaihissalaam. Siapa yang menaikinya, ia akan selamat. Sedang
yang tidak naik niscaya akan tenggelam.” Imam Sa’id bin Jubair berkata, “ Suatu
ucapan bisa diterima bila disertai perbuatan. Ucapan dan perbuatan bisa
diterima bila disertai niat. Dan setiap ucapan, perbuatan dan niat tidak akan
diterima kecuali bila sesuai dengan sunnah. “
Dengan demikian, amal yang benar adalah yang
dituntunkan Nabi, bukan yang mengada-ada tanpa ada dasarnya. Rasulullah saw.
bersabda: “Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya” (QS. Al Hasyr : 7).
Khatimah
Dalam kondisi apapun seorang muslim hendaklah beramal
untuk memenuhi hakikat penciptaannya yaitu sebagai hamba yang mengabdi kepada
Allah. Sebagaimana firman Allah, “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”(QS. Adz Dzaariyat: 56). Ibadah kepada Allah dapat diwujudkan
dalam bentuk aktivitas amal shalih kita berupa menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Allah swt. berfirman: “Beramallah kamu semua. Maka Allah dan
rasul-Nya serta kaum mukminin akan melihat amalmu”. (QS At-Taubah 105).
Nyatalah di sini bahwa aktivitas manusia merupakan
keharusan syar’i. Kalau Allah telah memerintahkan untuk beramal, tentu Allah
telah menggariskan batasan-batasan amal yang dikehendaki dan amal mana yang
tidak dikehendaki. Nilai amal bukan ditentukan oleh banyak atau besarnya amal
yang kita lakukan, tetapi dilihat ihsan tidaknya amal perbuatan itu. Amal yang
ihsan adalah amal yang dilakukan dengan ikhlas kepada Allah swt. dan benar (shawab) sesuai sunnah Rasulullah saw.
Dengan demikian, kita hendaknya senantiasa
meng-ihsan-kan amal kita, agar amal kita bernilai di sisi Allah. Apalagi ketika
kita menyadari bahwa apapun yang kita lakukan, bahkan bisik hati kita
sekalipun, Allah pasti tahu, maka tak ada alasan lain kecuali beramal dengan
amal yang ihsan, amal shalih! Semoga amal ketaatan kita sebagai hamba Allah,
diterima di sisi-Nya. Amiin…
Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Wallahu’Alam bish-Showab.
Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Wallahu’Alam bish-Showab.
0 comments:
Post a Comment