“Di antara umatku senantiasa ada orang-orang yang menang
karena berpegang erat dengan kebenaran. siapa pun yang berusaha
mencampakkan mereka tidak bisa membahayakan mereka hingga datang hari
kiamat, mereka tetap seperti itu.”
(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Salah satu yang dituntut Allah dari seorang mukmin adalah pengorbanannya di jalan Allah, yaitu berkorban demi tegaknya agama Allah. Telah banyak contoh yang kita lihat dari perjuangan Rasulullah dan para sahabat dalam hal pengorbanan di jalan Allah.
Setelah
Rasulullah dan para sahabat, kita menjumpai banyak sekali generasi
setelahnya yang begitu memahami apa arti pengorbanan di jalan Allah yang
sebenarnya. Sebut saja singa Allah, khalid bin walid ra., yang dengan
gagah berani penuh kebanggaan berkata “aku lebih menyukai malam yang
dingin dan bersalju, di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh
di pagi hari daripada menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita
yang aku cintai atau aku dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.” (HR.
al-mubarak dan abu Nu’aim).
Islam membutuhkan pengorbanan
kita. Karna pengorbanan ini yang akan membedakan kedudukan kita nanti
di hadapan Allah. Insya'Allah semakin banyak kita berkorban semakin
dekat pula kita pada kejayaan Islam. Karena itu hindari berfikir bahwa
telah cukup berkorban hanya karena kita telah menjadi bagian dari
pengemban dakwah di tengah-tengah banyaknya kaum muslim yang
meninggalkan dakwah. Jangan pernah berfikir bahwa aktivitas dakwah
adalah aktivitas “sampingan”, bukan menjadi prioritas kita.
Bukankah
Rasul saja menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk dakwah. Karena
itu pula tidak ada istilah dakwah melemah setelah lulus kuliah, setelah
menikah, setelah punya anak atau pun setelah disibukkan untuk mencari
nafkah. Pengemban dakwah tidaklah layak mengorbankan sesuatu yang
minimalis untuk Allah, RasulNya, dan untuk Umat ini.
Untuk
membangkitkan umat, diperlukan orang-orang yang mau bergerak secara
ikhlas dan sungguh-sungguh untuk meraih kembali kejayaan Islam. Orang
yang dibutuhkan adalah para pemuda Islam sekualitas para sahabat yang
memiliki tauhid yang lurus, keberanian menegakkan kebenaran, serta
memiliki ketaatan pada Islam. Dengan dorongan peran pemuda inilah maka
perjuangan penegakan kembali aturan Allah di muka bumi ini akan
berlangsung dengan giat sehingga Islam kembali tegak.
Konstelasi
politik dunia mengarah kepada kejatuhan ideologi Kapitalisme-liberal.
Hal ini membuka peluang bangkitnya Islam sebagai peradaban terbesar di
abad ini. Namun kebangkitan Islam memerlukan sumberdaya manusia yang
sangat tangguh. Karena kaum muslimin tidak sekadar dituntut membawa umat
manusia untuk bangkit, tetapi juga agar tetap tegak berdiri menopang
kekokohan peradaban.
Militansi dalam Meraih Tujuan
Istilah
militansi sering dimaksudkan sebagai kesungguhan, kerja keras, dan
mengerahkan segenap kesanggupan untuk meraih tujuan yang diinginkan.
Dalam konteks militansi meraih tujuan ini, seseorang rela
berpayah-payah, bekerja keras, tidak berleha-leha bahkan menanggung
derita agar bisa meraih sesuatu yang dipandangnya sebagai kebenaran.
Sesuatu yang dimaksud ini adalah hal berharga dalam hidupnya.
Islam
sebagai ideologi memunculkan motivasi untuk melakukan yang terbaik
dalam hidup setiap penganutnya, terlebih sebagai pengemban dakwah.
Karena dengan melakukan yang terbaik, insya'Allah manusia akan
mendapatkan balasan yang terbaik. Setiap manusia memiliki kemampuan
terbaik. Ukurannya tidak pada kuantitas ataupun kualitas. Namun setiap
potensi dirinya dicurahkan untuk memberikan yang terbaik, semata-mata
karena Allah SWT. Tidak ada yang bisa menilai amal terbaik yang diterima
selain dari Allah SWT. Islam hanya menetapkan rambu-rambu dan koridor,
yaitu laksanakan kewajiban dan jauhi kemaksiatan. Maka manusia hanya
dituntut untuk berbuat, dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan menolong
dan memudahkan setiap hamba-Nya yang berjalan menuju kebaikan. Keyakinan
inilah yang memunculkan militansi pada diri seorang muslim.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Militansi
yang kuat tumbuh dari ideologi yang kuat, yang tertanam dalam jiwa
pengembannya. Keharusan tumbuhnya militansi dari ideologi adalah agar
militansi ini tidak bersifat semu dan sesat.
Militansi Ideologi dalam Profil Muslimah
Militansi
ideologis tidak akan membuat dualisme sosok pengemban dakwah. Karena
militansi ini dipagari oleh syariat Islam. Seorang pengemban dakwah
tidak akan menjalankan aqad-aqad yang bertentangan dengan Islam, karena
ketaatan kepada hukum syara’ adalah komitmen terhadap ideologinya.
Seorang pengemban dakwah tidak akan melakukan pengabaian terhadap
keluarganya, karena keluarga adalah bagian dari tanggungjawabnya.
Militansi
ideologis dalam profil muslimah sholihah akan semakin memberikan
gambaran nyata tentang sosok muslimah yang seharusnya. Pengabdiannya
kepada keluarga dan ummat adalah kemuliaan menjadi perhiasan terindah di
dunia sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah muslimah sholihah.” (HR. Muslim)
Militansi, Kesadaran, dan Kesungguhan untuk Memimpin
Saat
ini Ideologi Islam masih berupa benih subur yang tumbuh bersemi dalam
jiwa mayoritas kaum muslimin. Ideologi Islam belum terwujud dalam
bentuk mabda (prinsip ideologis dan sistem hidup). Kaum muslimin masih
hidup dalam cengkeraman sistem kapitalisme liberal. Sistem yang liberal
menyebabkan manusia hidup pada kenistaan, kerusakan moral, dan jiwa.
Sistem Kapitalisme yang jahat dan keji telah kasat mata diakui
kerusakannya bagi sebuah peradaban manusia.
Islam menjadi
harapan pengentasan umat manusia dari penderitaannya yang dalam. Harapan
ini tumbuh dan bersemi dalam diri para pengemban ideologi Islam. Pada
para pengemban dakwah inilah bertumpu harapan terwujudnya sistem Islam
yang menyelamatkan umat manusia.
Prinsip ideologi yang
menghunjam dalam jiwa tidak akan dengan sendirinya mengubah sistem hidup
yang ada. Diperlukan perjuangan yang kuat agar ideologi memasyarakat
kemudian terwujud dalam sistem yang nyata. Perjuangan memerlukan
militansi yang kuat dari para pengembannya. Namun hal ini tidak bisa
diharapkan dari mereka yang belum memahami kedalaman ideologi dan
bagaimana langkah mewujudkannya. Untuk itu para pengemban dakwah harus
memahami seperti apa mabda Islam dan bagaimana menerapkannya. Gambaran
sistem yang utuh yang meliputi struktur negara, sistem ekonomi, sistem
peradilan, sistem sosial, dan berbagai urusan kemaslahatan masyarakat
harus tergambar dalam benak para pengemban dakwah. Gambaran penerapan
Islam yang utuh ini telah diteladankan oleh Rasulullah Saw dan
Khulafa’ur Rasyidin dalam bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Tidak
akan terwujud tegaknya mabda, selain dari militansi para pengemban
ideologi yang mendapat Nashrullah (karena kesungguhan pengorbanannya)
untuk memimpin pergerakan menuju penegakan Daulah Khilafah Islamiyah.
Militansi ideologi akan menumbuhkan kepemimpinan dalam diri para
pengemban dakwah. Kepemimpinan untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran
Islam ideologis dan memperbanyak kader. Kepemimpinan untuk menggerakkan
para kader dalam dakwah Islam. Kepemimpinan untuk menggerakkan umat
menyambut Islam dan bersama-sama memperjuangkannya. Kepemimpinan untuk
menggerakkan umat agar mampu bersama-sama merobohkan sistem yang rapuh
dan rusak serta menggantinya dengan sistem baru di atas landasan
ideologi Islam yang kuat. Kepemimpinan agar umat bersama-sama kader
dakwah menjadi kekuatan yang kokoh dan solid yang akan memberikan amal
terbaik demi meraih keridloan Allah SWT.
Membangun Militansi Ideologis Pengemban Dakwah
Persoalan
militansi pengemban dakwah menjadi hal yang senantiasa dibahas dalam
rangka meningkatkan kualitas para kader. Uraian di atas memberikan
gambaran bahwa militansi adalah hal yang tidak boleh dipisahkan dari
kesadaran ideologis. Bahkan militansi tidak boleh dilepaskan dari setiap
tahap pembinaan kader. Karena militansi adalah kesadaran untuk
senantiasa memberikan yang terbaik sesuai pemahamannya dan juga
kemampuannya. Pemahaman terhadap ideologi yang mendalam, jernih, bersih,
dan cemerlang apabila menyatu dengan militansi yang tinggi akan
memberikan hasil yang seringkali di luar dugaan.
Di
sinilah pentingnya memahami bagaimana mewujudkan militansi ideologis
pada diri kader-kader dakwah. Empat hal awal yang harus diwujudkan:
1.
Pembinaan Tsaqofah Islam dalam bentuk yang utuh dan integral.
Penguasaan tsaqofah ini menjadi modal bagi para kader untuk
memahamihukum-hukum syara’. Jangan sampai ketidaktahuan terhadap
hukum-hukum syara menyebabkan para kader dakwah sendiri tergelincir pada
kefasadan. Tidak sekadar itu, masyarakat akan salah kaprah karena
menganggap apa yang dilakukan para pengemban dakwah bukan suatu
kesalahan.
2. Pembinaan para kader agar menjadi
mufakkirin-siyasiyin. Pengemban dakwah adalah guru-guru di tengah
masyarakat. Mereka bukan sekadar guru dalam persoalan fiqh-fiqh ibadah
dan muamalah. Tetapi juga menjadi guru dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kehidupan. Saat ini problem kehidupan
kapitalistik-liberal tidak bisa dipecahkan dengan jawaban-jawaban fiqh
sebagaimana yang banyak tertuang dalam kitab-kitab para Ulama. Yang
ditunggu oleh umat saat ini adalah para pemimpin yang bukan saja
menguasai tsaqofah Islam, namun juga menjadi pemikir (mufakkirin)
sekaligus pejuang politik (siyasiyin) agar Islam terwujud dalam realita
kehidupan. Wawasan terhadap kondisi umat terkini haruslah dimiliki oleh
setiap mufakkirin-siyasiyin agar bisa merancang strategi dalam rangka
memenangkan pertarungan dalam kancah politik internasional.
3.
Pembinaan yang mampu memberikan arahan dan keteladanan kepada para
kader agar bisa mencurahkan kesungguhannya untuk senantiasa berpegang
teguh pada aqidah dan hukum Islam dan senantiasa memperkuat komitmen
untuk memperjuangkan tegaknya Islam. Pada aspek inilah militansi menjadi
target pembinaan yang selalu dipantau oleh kepemimpinan partai politik
Islam ideologis sebagai institusi yang memimpin pemikiran politik umat
dan membina kader-kadernya
4. Pembinaan yang mampu melahirkan
kader-kader militan yang senantiasa menjadikan amar ma’ruf nahi munkar
sebagai mekanisme untuk memurnikan kristalisasi ideologi dalam jiwa dan
perilaku para pengemban dakwah. Tanpa membedakan tingkatan struktur
kepemimpinan, senioritas kader, usia, atau kondisi apapun.
Demikian
upaya membangun militansi ideologi ini, insya Allah akan menghasilkan
pejuang-pejuang Islam yang tangguh, para
Mujtahid-Mufakkirin-Siyasiyyin-Mujahid Fii Sabiilillah. Generasi yang
tak akan diragukan lagi militansinya.
Sungguh Allah dan Rasul-Nya
telah mengingatkan kaum muslimin bahwa keimanan akan mengalami benturan
yang dahsyat. Benturan itu akan semakin dahsyat ketika kehidupan dunia
ini berada di tepi jaman. Oleh karena itu, istiqomah sangat penting bagi
pengemban dakwah. Sikap istiqomah ini diibaratkan oleh Nabi saw.
Seperti menggenggam bara api yang akan membakar siapa saja yang masih
‘berani’ menggenggamnya.
Anas bin Malik menuturkan,
Rasulullah SAW bersabda: “Akan tiba suatu masa pada manusia, dimana
orang yang bersabar di antara mereka dalam memegang agamanya, ibarat
orang yang menggenggam bara api.”(Hr. at-Tirmidzi).
Memang, bara
api itu akan membakar orang yang menggenggamnya, tapi tidaklah ia
membakar melainkan akan membersihkan segala kotoran-kotoran yang ada
pada dirinya. Seperti api yang membersihkan emas dari pengotornya.
Umat
yang sudah berada dalam kesuraman ini membutuhkan cahaya yang benderang
dari para pengemban dakwah. Jika pengemban dakwahnya juga turut
meredupkan cahaya agama ini, maka bagaimana umat bisa kembali ke jalan
kebenaran? Jadikanlah diri kita sebagai penggenggam bara api yang
menyala. Karena semua pengorbanan diri di hadapan Allah tidaklah
sia-sia. Kemuliaan dan kebangkitan umat akan terwujud dengan kejernihan
dan ketegasan pemikiran serta sikap para pengemban dakwahnya. Insya
Allah. Allah berfirman,
“Apakah kamu mengira bahwa
kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah: 214)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang menjadikan surga sebagai
cita-citanya maka ia harus bersiap diri merasakan penderitaan,
kesengsaraan, dan kegoncangan seperti yang dialami umat-umat sebelum
kita. Penderitaan itu mereka dapat karena keteguhan mereka dalam
mempertahankan iman dan perjuangan menegakkan agama Allah.
Dikisahkan
ada seorang sahabat yang bernama Khabbab bin al-Arts ra. Datang kepada
Nabi saw. mengeluhkan penderitaan yang ia rasakan disebabkan siksaan
orang-orang kafir karena ia memeluk Islam. Rasulullah saw. kemudian
memberikan nasihat kepadanya bahwa apa yang ia rasakan belum seberapa
dibandingkan dengan yang menimpa umat-umat sebelum Islam.
“Dahulu
kaum sebelum kamu, adakalanya dikubur hidup-hidup, digergaji dari atas
kepalanya hingga terbelah menjadi dua, adakalanya dikupas kulitnya
dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulang, tetapi keadaan yang
demikian tidak menggoyahkan iman agamanya.” (HR Bukhari)
Pengemban dakwah haruslah memberikan kontribusi dalam dakwah.
Kontribusi
dalam dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu,
kehidupan, dan segala sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah
cita-cita. Ini menjadi bentuk pengorbanan seorang kader terhadap dakwah.
Perjuangan dan pengorbanan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Karakter
aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk
berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatu pun yang merintanginya
untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini.
“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. Al Ahzab: 23)
Hakikatnya
bila kita telah mendeklarasikan diri sebagai pengemban dakwah, maka
sejatinya kita telah melakukan sebuah transaksi dengan Rabb Sang
Pencipta. Transaksi untuk mengorbankan harta, jiwa, waktu, dan seluruh
kehidupan untuk mengemban risalah dakwah ini. Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah;
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Quran. dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar.” (QS. At-Taubah 110)
Inilah sebuah keputusan
yang harus diambil seorang pengemban dakwah. Setiap keputusan, apapun
itu pasti memiliki konsekuensi. Dalam hal ini konsekuensi yang harus
dipahami untuk menjadi pengemban dakwah ini diantaranya adalah totalitas
(tajarrud) dan pengorbanan (tadhiyah).
Dakwah menuntut
totalitas. Dari sebuah totalitas akan membuahkan profesionalitas. Dakwah
tidak mengenal waktu sisa, karena kewajiban yang ada lebih banyak dari
waktu yang tersedia.
Tadhiyah (pengorbanan) adalah buah
dari pemahaman yang lurus akan arti pentingnya dakwah Ilallah. Tadhiyah
yang dimaksud di sini adalah seorang da’iyah harus mampu mengorbankan
harta, jiwa, waktu, dan seluruh kehidupannya untuk kemenangan Islam.
Tiada kemenangan tanpa perjuangan, Tiada perjuangan tanpa pengorbanan.
Seorang da’iyah yang lurus pemahamannya adalah yang apabila dihadapkan
pada posisi yang sulit selalu mengesampingkan kepentingan pribadi dan
lebih mengedepankan kepentingan dakwah. Dan itulah kemurnian arti sebuah
pengorbanan.
Dalam perjuangan penegakkan khilafah yang
difahami sebagai sebuah kewajiban, para pejuang harus memiliki Iman yang
kokoh dan hati yang ikhlas dengan segala pengorbanan-pengorbanan meski
terkadang kehidupan terasa pahit.
Tidak ada satu hal besar bisa
tercapai kecuali dengan pengorbanan yang juga besar. Untuk perjuangan
yang maha besar ini dituntut keihklasan. Ikhlas itu berarti menunaikan
kewajiban dengan tidak menyebut-nyebut saya sudah melakukan ini itu
dengan maksud riya, tidak pula mengira-ngira apa yang nanti akan jadi
buahnya, serta tidak membilang apa yang nanti akan jadi kesudahannya.
Kebangkitan
ideologi Islam dalam bentuk penegakkan aqidah dan hukum Islam
insya'Allah akan menghantarkan pada kebangkitan yang hakiki. Berbuat
dengan dilandasi atas aqidah dan hukum Islam menjadikan kita punya
harapan akan cahaya kebangkitan Islam. Jikalau Islam sudah bangkit dan
bersinar tiadalah kekuatan duniawi yang mampu memadamkan nyalanya! Tidak
ada satu bendungan raksasa pun yang sanggup menahan aliran kebangkitan
Islam, ketika umat sungguh-sungguh menegakkan aqidah dan hukum Islam
dalam kehidupan ini, dan ketika keimanan yang kokoh sudah tertanam dan
hidup di dada kaum muslim. Mungkin saja musuh-musuh Islam mengerangkeng
pejuang Islam dengan rantai tetapi tidak ada satu kelaliman pun yang
dapat merantai Iman, sebab Iman menolak penindasan dan menghendaki
kemerdekaan. Memang betul, bahwa (pengaruh) keimanan memang naik dan
turun, tetapi trend-nya harus dijaga agar tetap naik. Futur adalah
penyakit yang memang pasti akan menyerang seseorang yang tingkat
keimanannya tinggi, bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk memperkuat
dan membawa keimanannya ke level yang lebih tinggi.
Menjemput Kemenangan Islam
Pertolongan
Allah diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Diantaranya,
insya'Allah pertolongan Allah akan diberikan kepada kelompok tertentu
yang memiliki sifat-sifat tertentu. Kelompok ini langsung disiapkan,
dibentuk, dan dibina oleh Allah sendiri agar layak berkuasa di bumi dan
berhak mengemban amanah penegakan agama di seluruh dunia. subhanallah...
(memikirkan tentang hal ini, bagaimana ketika seseorang atau sekelompok
orang mendapat pembinaan langsung dari Allah?). Itulah Ath-Tha’ifah al
Manshurah (kelompok pemenang). Kelompok inilah yang di maksud oleh
Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Di antara umatku
senantiasa ada orang-orang yang menang karena berpegang erat dengan
kebenaran. siapa pun yang berusaha mencampakkan mereka tidak bisa
membahayakan mereka hingga datang hari kiamat, mereka tetap seperti
itu.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
Kelompok pemenang/Ath-Tha’ifah al Manshurah yang
berpegang pada kebenaran ini menolong Islam tidak mengandalkan jumlahnya
yang banyak. Mereka selalu merupakan kelompok minoritas. Orang-orang
yang beriman pada setiap zaman dan tempat meraih kemenangan atas
musuh-musuh mereka tidak dengan jumlah yang besar dan senjata mereka.
Namun, mereka meraih kemenangan karena berpegang teguh pada agama ini,
yang dengan itulah Allah memuliakan mereka. Hal ini sebagaimana pernah
dikatakan oleh Abdullah bin Rawahah ra. saat terjadi perang mu’tah,”kita
tidak memerangi musuh dengan senjata, kekuatan, dan pasukan besar. Kita
tidak memerangi mereka kecuali dengan agama ini, yang dengan itulah
Allah memuliakan kita.”(Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam).
Sesungguhnya
ketentuan–ketentuan Allah SWT itu tidak dikhususkan kepada sembarang
orang. Kemenangan ada sebab-sebabnya, kekalahan pun demikian. Siapa saja
yang dikehendaki Allah memiliki sebab-sebab pembawa kemenangan, Allah
pasti akan menolongnya. Siapa saja yang tidak Allah kehendaki memiliki
sebab-sebab pembawa kemenangan, maka silahkan untuk menyalahkan dirinya
sendiri, Allah SWT berfirman:
“(Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian dan tidak menurut
angan-angan Ahlul Kitab. siapa saja yang mengerjakan kejahatan, niscaya
ia dibalas karena kejahatan itu.” (QS an- Nisa’(4):123)
Pada
saat-saat sekarang inilah kita perlu melakukan refleksi atas berbagai
kesulitan dan kehinaan yang tengah kita hadapi. Dunia hampir-hampir
putus asa menanti datangnya petunjuk. Namun tak boleh putus asa.
Informasi yang dapat kita peroleh dari sirah Nabi Muhammad saw. kita
akan jumpai pesan utama yang harus kita pelajari lebih jauh, yaitu bahwa
Rasulullah saw. hadir laksana sebuah ‘cahaya yang menerangi’ atau
siraajan munir. Satu-satunya jalan untuk mengubah keadaan gelap gulita
yang kini dialami ummat manusia adalah dengan mengikuti segala sesuatu
yang ditinggalkan Rasulullah Saw. kepada kita. Itulah kitabullah,
sunnah, dan sumber-sumber hukum Islam lainnya. Cara ini hanya bisa
ditempuh dengan menegakkan kembali Negara Khilafah Islamiyah sebagaimana
di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin dan Kekhilafahan Islam yang
menegakkan aqidah dan hukum Islam di tengah-tengah ummat.
“Dan
katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9] : 105).
Wallahua’lam bish shawab.
0 comments:
Post a Comment