Gemuruh kalimat talbiyah memenuhi langit kota Makkah. Hamparan sahara tak lagi sepi dari jejak kaki manusia yang dalam dirinya diliputi cahaya keimanan dan dzikrullah. Di sanalah momen akbar pertemuan tamu-tamu Allah dari seluruh penjuru dunia yang melebur menjadi satu, berangkat ke Baitullah memenuhi panggilan Allah. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah sekaligus menggugah kesadaran sebagai seorang hamba Allah! Mengingat di kota suci itulah Nabi Ibrahim as. dan Ismail as. membangun Ka’bah sebagai pondasi awal untuk penyembahan kepada Allah. Juga di kota itu pula Rasulullah pertama kali memulai dakwahnya, untuk menghilangkan segala bentuk kejahiliahan dan kekufuran menuju cahaya kemuliaan Islam.
Dalam Islam, ibadah haji menjadi ibadah yang sangat mulia dan salah satu dari rukun Islam yang merupakan pilar-pilar tegaknya Islam di muka bumi. Allah telah mensyari’atkan pelaksanaan ibadah haji bagi yang mampu, sebagaimana dalam firman-Nya, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (TQS. Ali Imran : 97)
Demikian, ibadah haji notabenenya tidak semua orang mampu melaksanakan, hanya orang yang mampu secara fisik dan materi (istitha’ah) yang diwajibkan menunaikan ibadah ini. Maka, menjadi suatu kebahagiaan yang tiada tara tatkala mampu melaksanakannya. Sebab meski berat, ibadah haji sangat memikat. Bukan saja karena dapat menjadi sarana untuk bertaubat, namun lebih dari itu insya’Allah syurga pun didapat. Sehingga wajar, sebagai muslim, banyak yang senantiasa diliputi kerinduan untuk mendapatkan kesempatan yang sangat berharga itu.
Kini, setelah kurang lebih 40 hari berada di tanah suci, kaum muslimin yang berhaji secara berangsur telah kembali ke tanah air. Hal ini menjadi salah satu penanda bahwa musim haji akan segera berakhir. Meski demikian, sejatinya hal itu bukanlah akhir dari rangkaian pelaksanaan haji. Pasalnya, setiap amal yang dijalankan karena Allah, membutuhkan adanya manifestasi atau perwujudan yang nyata sebagai indikasi dari kesuksesannya dalam menjalankan ibadahnya, yaitu berupa peningkatan iman dan amal shalehnya pasca pelaksanaan ibadahnya. Tak terkecuali dengan ibadah haji. Puncak prestasi dari ibadah haji adalah mendapat predikat haji mabrur.
Lantas, sudahkah kaum muslimin yang mampu berhaji mengupayakan agar ibadah hajinya menjadi haji yang mabrur? Bagaimanakah manifestasi dari haji mabrur tersebut? Begitupun bagi kaum muslimin secara keseluruhan, bagaimana mereka dapat menggali makna yang terkandung dari ibadah haji untuk diimplementasikan dalam kehidupan?
Makna di Balik Rangkaian Ibadah Haji
Ibadah haji merupakan ibadah mahdhah yang sarat makna untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Sejak dari persiapan, pelaksanaan hingga selesai berhaji, didalamnya diajarkan wujud dari totalitas penghambaan kepada Allah di segala aspek kehidupan. Tak dipungkiri, ibadah haji menjadi suatu ibadah yang berat. Untuk persiapan haji, dibutuhkan materi yang tidak sedikit, ilmu yang memadai, kesiapan jasmani maupun rohani. Saat pelaksanaan, yang terangkum dalam rangkaian ibadah haji semuanya butuh dijalani dengan berlandaskan iman dan takwa serta komitmen yang sungguh-sungguh untuk memanifestasikannya dalam kehidupan pascahaji. Jika tidak, maka hal itu bisa jadi hanya sekedar aktivitas ritual yang maknanya akan segera sirna, sebab tidak berwujud pada iman dan takwa. Rasulullah bersabda, “Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim).
Dengan mengikuti sunnah Rasulullah dalam berhaji, berikut beberapa makna yang dapat diambil dari rangkaian pelaksanaan ibadah haji:
- Memakai pakaian ihram dan mengumandangkan talbiyah merupakan cerminan komitmen untuk datang memenuhi panggilan Allah. Pakaian ihram yang sama juga bermakna bahwa semua orang adalah sama dihadapan Allah. Tak ada beda di antara mereka dari segi status sosial ataupun penampakkan fisik, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Firman Allah swt, "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu." (TQS. Al-Hujurah: 13)
- Thawaf mengelilingi Ka’bah, bermakna bahwa umat Islam merupakan umat yang dinamis, senantiasa melakukan amal-amal yang Allah perintahkan. Thawaf yang dilaksanakan tujuh kali hanya di pelataran Ka’bah saja mencerminkan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh umat Islam pun hendaknya selalu dilaksanakan di jalan Allah dan hanya berdasarkan petunjuk Allah. Thawaf juga bermakna penyembahan kepada Allah dan menjadikan-Nya sebagai tujuan dari segala amal. Adapun Ka’bah dijadikan sebagai kiblat dalam beribadah kepada Allah dan symbol pemersatu kaum muslimin. Firman Allah swt, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (TQS. Adz-Dzariyat: 56)
- Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah ketika Sa’i, bermakna berusaha dan bekerja keras. Sebagai seorang mukmin tidak boleh berputus asa terhadap rahmat Allah, tapi harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggapai harapannya dan hanya menggantungkan harapannya tersebut kepada Allah. Firman Allah swt, "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (TQS. Alam Nasyrah : 6-8)
- Wukuf di Arafah, makna harfiyahnya adalah berhenti, berdiam diri sejenak di Arafah. Di tempat ini semua manusia dari berbagai pelosok dunia kedudukannya sama di hadapan Allah, kecuali iman dan takwanya. Arafah juga merupakan gambaran di dunia bagaimana kelak di hari kiamat semua manusia akan dikumpulkan dan menunggu keputusan Allah akan nasib sesudahnya, surga atau neraka tempat bagi mereka. Firman Allah "(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih" (TQS. Asy Syu’ara: 88-89)
- Melempar jumrah, maknanya agar manusia menjauh dari segala sifat buruk yang biasa dimiliki setan serta meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada Allah.
- Mencium Hajar Aswad, maknanya adalah mengikuti sunnah Rasulullah dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Firman Allah "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (TQS. Al-Hasyr: 7)
- Qurban dan Tahalul (mencukur rambut) merupakan representasi dari kecintaan dan kepatuhan seorang hamba terhadap perintah Allah dengan mengorbankan sesuatu yang dicintai karena-Nya.
Menggapai Haji Mabrur
Tiada predikat yang lebih baik bagi seseorang yang usai menunaikan ibadah haji, selain mabrur. Itulah puncak prestasi seorang haji. Penyebutan istilah haji mabrur sekaligus menjadi indikator bahwa tidak semua orang yang melaksanakan haji dapat mencapai haji mabrur.
Haji Mabrur adalah haji yang diterima Allah. Kata mabrur berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-bir, yang artinya baik dan bijaksana. Menurut Ibnu Mandzur penulis kitab Lisanul Arab, kata mabrur mengandung dua makna yaitu baik, suci atau bersih. Dalam konteks ibadah haji, mabrur bermakna bersih dari noda dan dosa. Sedangkan makna yang kedua, mabrur berarti makbul artinya diterima dan mendapat ridha Allah. Ibnu Hajar al-Asqolani menambahkan bahwa haji mabrur tidak sekedar haji yang diterima, tetapi haji mabrur berarti haji yang dapat menjadikan pelakunya berkeinginan kuat untuk mengekspresikan dan meningkatkan kebajikan yang berkesinambungan setelah yang bersangkutan menunaikan ibadah haji.
Oleh karenanya, kemabruran haji seseorang dapat dilihat dari pribadinya pascahaji. Orang yang mendapat predikat haji mabrur akan meningkat iman dan takwanya serta bertambah kualitas ibadahnya dibandingkan dengan sebelum berhaji.
Kebalikan dari haji mabrur adalah haji Ma’zul atau haji Majhul, yaitu haji yang ditolak, karena haji yang dilakukan seseorang dengan tanpa pengetahuan, tanpa ilmu apalagi sampai memahami makna dari rangkaian ibadah haji. Rasulullah bersabda, “Bahwa amal seseorang akan tertolak, kecuali dilandasi dengan pengetahuan”.(HR. Bukhari-Muslim).
Orang yang hajinya tidak mabrur, tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik setelah menunaikan ibadah haji. Seperti masih melaksanakan kemaksiatan kepada Allah dan enggan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Inilah gambaran rendahnya manifestasi berhaji. Ibadah hajinya bisa jadi tak ubahnya seperti rekreasi, atau wisata ruhani ke tanah suci. Apalagi bagi mereka yang hanya menjadikan ibadah hajinya sebagai pelengkap nama atau pengharapan akan kemuliaan dunia. Padahal, sungguh hal ini tak sebanding dengan balasan yang telah Allah sediakan bagi mereka yang berhaji karena mengharap ridha Allah semata, yaitu berupa syurga-Nya.
Sabda Rasulullah, “ Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali syurga.“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Disadari bahwa tidak setiap orang yang berhaji mampu menjadi haji mabrur. Dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk meraihnya dan diwujudkan mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga pascahaji. Sebagaimana dipahami bahwa haji mabrur lebih menekankan aspek ketundukkan seorang hamba kepada Rabbnya, serta adaya totalitas penghambaan kepada Allah semata yang diwujudkan pada penegakkan aqidah dan hukum Islam secara berkesinambungan di seluruh aspek kehidupan.
Sangat disayangkan ketika orang yang mampu berhaji hanya sekedar mendapatkan gelar haji sebagai pelengkap identitas diri atau hanya mendapatkan manfaat duniawi yang tidak menambah kemuliaannya di sisi Allah. Pascahaji, gemblengan selama pelaksanaan haji serta kandungan yang penuh hikmah dari seluruh rangkaian ibadah haji semestinya mampu menempa diri orang yang berhaji sebagai ajang pelatihan untuk mewujudkannya dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, serta hubungannya dengan Allah. Jika ini terwujud, maka pelaksanaan ibadah haji yang diikuti ribuan hingga jutaan umat Islam di seluruh dunia, insya’Allah akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan yang lebih baik dalam kehidupan.
Khatimah
Allah mensyari’atkan setiap ibadah dengan kandungan makna di dalamnya. Seperti halnya dalam ibadah haji, Allah mengajarkan berbagai bentuk penyempurnaan penghambaan kepada-Nya. Pada hakikatnya seluruh rangkaian haji tersebut adalah momen yang sangat berharga bagi hamba Allah untuk merasakan sifat-sifat keagungan Allah yang berbuah pada amal shaleh setelah berhaji. Sehingga menjadi harapan kita semua agar kesempatan untuk beribadah haji mampu disikapi dengan benar oleh kaum muslimin sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas diri di hadapan Allah. Untuk itu, dalam melaksanakan ibadah haji tak sekedar menjalani serangkaian ritual berhaji, namun mampu memanifestasikannya dalam bentuk peningkatan iman dan amal shaleh yang berupa ketaatan kepada Allah, baik dalam aspek individu, sosial kemasyarakatan maupun di seluruh aspek kehidupan lainnya.
Sabda Rasulullah, “Barangsiapa berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan kefasikan (dalam hajinya tersebut), niscaya dia pulang dari ibadah tersebut seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Bukhari&Muslim)
Dengan dilandasi iman dan takwa, insya’Allah kaum muslimin yang sanggup melaksanakan ibadah haji akan dapat meraih kemuliaan yang dijanjikan Allah berupa syurga dan karunia dari-Nya yang tanpa batas. Begitupun bagi yang belum dapat memenuhi panggilan Allah ke Baitullah, semoga semakin dimudahkan jalan-Nya untuk menjadi salah satu dari tamu-tamu Allah.
Wallahu’alam bishshawab.
Published in Bulletin of AL Hikmah' s Voice - 15 th Nov 2013
0 comments:
Post a Comment