Kasus demi kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri terus terjadi hingga saat ini. Mulai dari tindak kekerasan berupa penyiksaan atau penganiayaan hingga cacat, bekerja di bawah tekanan majikan, tidak mendapat gaji selama berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun, pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan hukuman mati(pancung). Hal ini sebagaimana diberitakan dalam Batavia.co.id (27 oct 2011), sebanyak 478 TKI asal Kabupaten Sukabumi mengalami masalah. Dua TKI di antaranya menghadapi hukuman pancung di Arab Saudi. Menurut Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi, TKI dan tenaga kerja wanita (TKW) bermasalah itu tidak hanya mengalami penyiksaan, tetapi juga tidak mendapat gaji penuh dan mengalami pelecehan seksual oleh majikannya. Sebagian besar TKW bermasalah karena tidak dibayar hak-hak mereka selama bekerja sehingga mereka terlunta-lunta dan berurusan dengan aparat berwenang.
Kasus ini terus berlanjut, terdapat sebanyak 55 TKI bermasalah, bersama dua balita dideportasi dari Yordania. Sebagian besar para TKI ini mengaku tidak digaji. Bahkan dua TKI mengalami patah tulang. Sementara itu, empat TKI lainnya menderita depresi berat (Metrotvnews.com - 22 Des 2011). Hal serupa, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Dubai memulangkan delapan orang TKI bermasalah. Satu dari mereka, Sumiyati binti Samin Marzuki yang mengalami patah kaki. Sejak Januari 2011, KJRI Dubai telah memulangkan 204 TKI yang bermasalah dari Dubai dan negara bagian lainnya di Uni Emirat Arab. Kedelapan TKI bermasalah tersebut sebelumnya telah berada di penampungan sementara KJRI Dubai dengan kurun waktu yang bervariasi antara 1 bulan hingga 7,5 bulan. Mereka berada di penampungan KJRI Dubai karena sebelumnya datang meminta bantuan ke KJRI Dubai setelah melarikan diri dari majikan. Menurut suaran pers KJRI Dubai, alasan mereka umumnya karena beban kerja terlalu berat, majikan ringan tangan dan tempramental, tidak digaji, maupun karena mengalami pelecehan seksual. (Detik.com - 22 Des 2011)
Data Migrant Care mencatat, sepanjang tahun 2011, terdapat 417 TKI terancam hukuman mati di luar negeri. Dari 417, sebanyak 32 TKI yang sudah divonis hukuman mati. Para TKI yang terancam tersebut paling banyak didapati di Malaysia, yaitu sebanyak 348 orang. Sementara itu 22 orang di China, 45 orang di Arab Saudi dan 2 orang di Singapura. Hal ini salah satunya dialami Tuti Tursilawati (27), asal Jawa Barat, terancam hukuman mati di Arab Saudi. Selain Tuti, TKW yang juga bernasib sama dengannya yaitu Satinah binti Jumadi, juga dijatuhi vonis pancung di Arab Saudi.
Beginilah nasib keberangkatan para TKI di luar negeri secara legal dan melalui agensi resmi, tidaklah sebanding dengan mimpi-mimpi yang dihembuskan para agen TKI tersebut, yang didapatkan justru pengalaman pahit dan perlakuan yang tidak manusiawi. Belum lagi nasib TKI lainnya yang berangkat ke luar negeri secara illegal dan bahkan tak diketahui beritannya. Sangat menyedihkan nasib mereka yang disebut-sebut sebagai pahlawan devisa negeri ini! Bahkan, tak hanya permasalahan yang dialami ketika berada di luar negeri, sejak awal pemberangkatan pun para TKI dihadapkan pada birokrasi yang rumit, dalam hal pengurusan dokumen, paspor, visa dan kelengkapan lainnya, hingga tak jarang sebagian dari mereka menjadi korban pencaloan dan penipuan. Dengan dalih akan dipekerjakan di luar negeri dengan gaji yang menggiurkan, tetapi justru tertipu mentah-mentah. Sebagaimana yang dialami oleh Jaya Jaelani (30), salah satu korban dari 21 pria dan 9 perempuan yang tertipu akan diberangkatkan ke Kanada. Mereka ditawari pekerjaan di restoran di Kanada dengan gaji sebesar Rp 20 juta, tunjangan, dan tempat tinggal sementara di Kanada. Namun, para korban ini diharuskan membayar sebesar Rp 5-8 juta untuk membuat dokumen keimigrasian seperti paspor dan visa yang ternyata tertipu dan tidak jadi diberangkatkan(Republika.co.id - 23 Des 2011).
Sumiyati, Tuti, dan Satinah adalah bagian dari ribuan TKI yang merantau ke negeri seberang, yang mungkin apa apa yang mereka alami telah mewakili TKI yang lain. Sungguh perih, saat kenyataan tak seindah impian, saat semuanya hancur di luar dugaan, mungkin rasa ini adalah rasa yang mewakili TKI-TKI itu. Betapa mereka bangga saat itu, saat berangkat menuju ke luar negeri untuk bekerja, karena terbayang dengan gaji yang melimpah, kehidupan yang sejahtera dan harapan besar jika nanti pulang ke tanah air, semua kehidupannya akan berubah menjadi kejayaan. Ya, hidup layak dan memiliki status sosial yang lebih baik dengan menyimpan pundi-pundi hasil jerih payah selama bekerja di luar negeri menjadi iming-iming bagi mereka yang mau menjadi TKI. Memang ada juga kisah sukses dari TKI yang pulang kampung dengan banyak membawa duit. Tak heran, sanak saudara dan tetangga ingin menapaki jejak yang sama. Sayangnya banyak pahlawan devisa ini bukan bahagia yang didapat, melainkan nestapa. Sisi lain, lembaga-lembaga yang melayani pemberangkatan TKl, baik itu legal ataupun ilegal, yang berjumlah banyak di Indonesia, ikut memicu bertambahnya individu-individu yang bekerja ke luar negeri. Namun, tak jarang TKI justru terlantar di negeri sana. Janji-janji yang dilontarkan saat di Indonesia tak satupun yang terwujud, hingga akhirnya semuanya menjadi mimpi buruk.
Menyikapi problematika yang dihadapi TKI, pemerintah telah mengambil tindakan pemulangan para TKI dari tempat kerjanya ke tanah air. Belakangan ini, pada Oktober 2011, sekitar 3 ribu TKI dipulangkan dari Arab Saudi, baik karena status mereka yang telah melebihi waktu izin tinggal ataupun mereka yang tidak memiliki kelengkapan surat-surat ataupun keterangan lain. Deportasi juga dilakukan oleh sejumlah Negara lainnya. Bahkan hingga akhir 2011, ada 130.000 TKI ilegal di Malaysia, terutama di Sabah dan Sarawak, yang terancam dideportasi. Upaya pemulangan TKI ke Negara asal, menjadi solusi parsial yang dilakukan pemerintah dan menjadikan nasip para TKI semakin tak karuan. Pasalnya, bagi mereka yang dipulangkan dengan paksa, pihak negara yang melakukan ekstradisi tidak peduli dengan gaji TKI tersebut, apakah sudah dibayarkan atau belum oleh majikannya, yang penting semuanya harus dipulangkan! Tidak heran, jika ada TKI yang mogok tak mau dipulangkan karena menunggu gaji mereka yang belum diberikan oleh majikannya. Sungguh permasalahan yang dilematis! Ketika TKI dipulangkan sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap penindasan yang dialami TKI, namun di sisi lain, di tanah air sendiri mereka juga tidak mendapatkan pekerjaan yang dapat menopang keberlangsungan hidupnya, lebih-lebih untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup. Wajar, ketika ada TKI yang enggan pulang ke Indonesia dengan alasan di negeri perantauan masih tetap lebih baik di banding di negerinya sendiri karena kerasanya kehidupan di negara asalnya. Miris menyaksikan kondisi ini!
Apakah dilema TKI ini akan dibiarkan menjadi permasalahan berkepanjangan tanpa solusi yang jelas? Lantas solusi yang bagaimana yang perlu dilakukan? Sudah cukup kiranya kisah pilu para TKI di negeri perantauannya, menjadikan kita berfikir untuk mencari penyelesaian yang tuntas, hingga tidak terkuak lagi kasus-kasus yang menimpa TKI sebagaimana fakta yang ada saat ini.
Semuanya berawal dari kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pangan, sandang dan papan. Karena tak bisa dipungkiri, dengan potensi yang dimiliki, secara fisiologis manusia memiliki kebutuhan dasar, makan dan minum. Bekerja adalah salah satu satu cara untuk memuhi kebutuhan itu. Jika Islam menetapkan keharusan “kerja” dalam segala bentuknya, itu adalah sebab dasar yang memungkinkan manusia memiliki harta. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mulk: 15, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya,”. Serta sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah seorang diantara kamu, makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri” (HR Baihaqi).
Juga sabda Rasulullah,“Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak terhapus oleh shoum dan shalat. Ditanyakan pada beliau: Apakah yang dapat menghapuskannya ya Rasulullah? Jawab Rasul SAW: Bekerja mencari nafkah penghidupan” (HR Abu Nu’aim). Nampak bahwa dalam Islam, bekerja adalah salah satu cara memperoleh harta (kepemilikan harta) yang natinya digunakan untuk memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Islam mengarahkan motif dan alasan bekerja adalah dalam rangka mencari karunia Allah. Firman Allah, “… maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatkah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS. Al Jumu’ah: 10) pada ayat yang lain “Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizing-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al Jatsiyah 12).
Dengan adanya nash-nash di atas, Islam menetapkan bahwa pada mulanya, pemenuhan dan kesejahteraan hidup manusia, adalah tugas individu itu sendiri, yaitu dengan “bekerja”. Jika ia tidak dapat mendapatkan pekerjaan, padahal ia mampu untuk itu, maka Negara wajib menyediakannya. Sebab, memang itu menjadi tanggung jawab Negara. Rasulullah bersabda “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban Negara dan merupakan bagian dari tanggung-jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. Sisi lain, jika seseorang tidak mampu untuk bekerja dan tidak mampu mencukupi nafkah diri dan anggota keluarga yang menjadi tanggung-jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah “Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (QS. Al Baqarah: 233)
Bekerja adalah kebutuhan pokok, adanya TKI adalah suatu keabnormalan kondisi ekonomi, karena warga negara mencari pekerjaan ke Negara lain karena dalam Negara sendiri tak tersedia. Bukan suatu kebanggan tatkala Indonesia menjadi Negara tertinggi dalam aspek pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, bahkan menjadi hal yang memalukan saat seseorang mencari nafkah ke tanah orang lain, bukan karena ingin memperbanyak pengalaman kerja tapi karena di tanah sendiri, pemerintah tak mampu mengatasi masalah hidup, masalah kelangkaan lapangan kerja. Sebenarnya jika mau, banyak berbagai sektor yang itu bisa dimanfaatkan, yang nantinya akan menyerap banyak tenaga kerja. Disadari atau tidak, di Negara ini, kekurangan kebutuhan Negara, misalnya akan bahan pangan, ataupun dari aspek yang lain, pemerintah lebih memilih mengimpor daripada mengusahakan secara mandiri. Bisa dibayangkan, jika pemerintah mengurangi impor dengan cara meningkatkan kinerja mandiri dari dalam negeri sendiri, maka otomatis lapangan pekerjaan akan banyak terbuka lebar. Namun, jika muncul pertanyaan, jikalau nantinya ada lapangan pekerjaan, di sektor manakah tenaga manusia bisa disalurkan, karena mengingat tenaga manusia sudah digantikan oleh mesin-mesin, sementara keahlian para TKI sangat “minim”. Hal ini dapat dilakukan melalui sektor pertanian, kehutanan, kelautan, ataupun sektor lain yang ditopang dengan sumber daya alam yang ada. Bukankah Indonesia adalah Negara yang memiliki potensi alam yang lebih dibandingkan dengan negara-negara lain?
Dari sektor pertambangan saja, ambil salah satu contoh perusahaan asing milik Amerika yang ada di Indonesia, Freeport. Sejak 1967, PT Freeport Indonesia (FI) beroperasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di tanah Papua. Lebih dari 2,6 juta hektar lahan sudah dieksploitasi, termasuk 119.435 hektare kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan hutan konservasi. Hak tanah masyarakat adat pun ikut digusur. Dari hasil eksploitasi itu, setiap hari, rata-rata perusahaan raksasa dan penyumbang terbesar industri emas di AS itu mampu meraih keuntungan finansial bersih perharinya mencapai US$ 20 juta. Jumlah ini jika dikalikan dengan 31 hari, hasilnya adalah: US$ 620 Juta (jika dirupiahkan sekitar 5,5 triliun). Maka penghasilan bersih Freeport pertahunnya kurang lebih 70 triliun rupiah. Berarti, dengan 44 tahun keberadaannya di Indonesia, keuntungan bersih yang didapatkan Freeport mencapai 3.000 triliun, sebuah jumlah yang sangat fantastis! Keuntungan ini bisa menutupi utang luar negeri sejumlah 1.700 triliun rupiah yang selama ini bebannya ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Namun, mengapa rakyat Indonesia, bahkan khususnya masyarakat Papua di sekitar pertambangan tersebut justru terlantar dan kemiskinan semakin meningkat. Wajar saja, keuntungan yang ada tidak dinikmati oleh penduduk Indonesia, tapi dikeruk oleh PT asal Amerika tersebut. Hasil laporan kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT FI, kontribusi perusahaan tambang itu ke pemerintah Indonesia ternyata hanya sekitar Rp 12 miliar per tahun. Awal November lalu, sebelum ada pemogokan karyawan menuntut kenaikan upah, PT FI mengaku telah menyetorkan royalti, dividen, dan pajak senilai Rp 19 triliun kepada pemerintah Indonesia atau naik Rp 1 triliun jika dibanding 2010 yang hanya Rp 18 triliun. Namun, tetap saja, kontribusi sebesar itu tentu tidak sebanding dengan hasil eksploitasi gila-gilaan yang diperoleh PT FI. Ini karena berdasarkan hasil laporan keuangan PT FI tahun 2010, perusahaan tambang tersebut mampu menjual 1,2 miliar pon tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pon. Selain itu, pada 2010 PT FI juga sudah menjual 1,8 juta ons emas dengan harga rata-rata US$ 1.271 per ons, sehingga jika dihitung rata-rata dengan kurs Rp 9.000, total hasil penjualan PT FI mencapai sekitar Rp 60,01 triliun (Lebih dari setengah APBN Indonesia tahun 2010, sebesar RP 1.047,7 Triliun). Sama halnya dengan tambang emas, tembaga dan uranium di papua yang hingga saat ini dikuasai oleh PT FI, Indonesia sebagai pemilik cadangan gas terbesar di dunia, yaitu Blok Natuna D Alpha dengan cadangan gas hingga 202 triliun kaki kubik dan masih banyak Blok-Blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll, siapa pengelolanya? Exxon-Mobil, perusahaan asing milik Amerika Serikat! Inilah perampokan secara besar-besaran kekayaan alam oleh pihak asing terhadap Indonesia yang seharusnya bisa dikelola Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya.
Begitu besar potensi yang dimiliki bangsa ini tapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kemakmuran rakyatnya. Lihat saja, selain dari aspek pertambangan yang selama ini justru mensejahterakan pihak asing dan segelintir orang yang terlibat dalam proyek tersebut, berapa banyak kekayaan alam lainnya di negeri ini, seperti hutan tropis yang luasnya 39.549.447 Hektar,dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia, lautan terluas di dunia dengan jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki Negara lain, tanah yang subur karena memiliki banyak gunung berapi yang aktif terlebih lagi dilintasi garis khatulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari dan hujan. Semua ini harusnya bisa dipotensikan untuk dikelola bagi kesejahteraan rakyatnya.
Jika selama ini karena alasan sumber daya manusia (SDM) yang tidak mampu, benarkah demikian? Selama ini sebenarnya banyak warga negara Indonesia yang memiliki pengetahuan yang tinggi, keahlian dan kemampuan yang memadai, namun kurangnya dukungan terhadap capaian pengetahuan dan keahlian yang dimiliki dan tidak tersalurkannya secara tepat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, menjadikan banyak dari mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dan tidak mengabdikan ilmunya di negeri sendiri. Untuk itu, jika kekayaan alam yang ada dikelola pemerintah secara mandiri dengan tenaga ahli yang sudah dimiliki atau jika memang perlu mempekerjakan tenaga ahli dari luar dengan statusnya sebagai pekerja, bukan pengelola seperti saat ini, maka hal ini bisa menjadi jalan bagi Indonesia untuk dapat menyediakan lapangan kerja bagi warganya, tidak perlu bergantung pada Negara lain, seperti halnya fakta TKI. Hal ini karena dari data penghasilan yang didapat dari hasil pertambangan saja, jika pengelolaannya dikembalikan kepada Negara untuk kesejahteraan rakyatnya, tidak hanya hutang luar negeri saja yang mampu ditutupi, untuk membayar gaji pekerja yang bekerja secara mandiri di negerinya sendiri Indonesia akan mampu, tanpa perlu menggantungkan hidupnya pada Negara lain dan membiarkan warganya terlantar di negeri orang.
Sesungguhnya, dinilai dari segi untung atau rugi, maka menjadi TKI adalah lebih banyak ruginya. Mulai dari kasus penyiksaan fisik, upah di bawah standar, perlakuan yang tidak manusiawi, atau seperti sekarang yang terjadi, ekstradisi besar-besaran, yang membuat TKI-TKI meringkuk di asrama TKI dengan perasaan tak menentu, tak tahu nasib selanjutnya. Memang pemerintah Indonesia sudah berusaha melakukan kesepakatan dengan negara-negara tujuan TKI dalam hal perlindungan terhadap TKI dan upah minimum mereka. Namun kenyataannya, fakta hitam di atas putih itu hanyalah berstatus sekedar kesepakatan tanpa pelaksanaan, alias nihil. Di lapangan, para TKI rela diupah berapa saja, karena meraka sendiri tak pernah tahu aturan gaji untuk pekerjaan yang dilakukannya. Ketidaktahuan dan lemahnya para TKI membuat mereka menjadi bulan-bulanan majikannya yang seenaknya memotong gaji bahkan tak membayarkan upah! Dan fenomena lain yang dilematis, adanya praktek pencaloan tenaga kerja yang telah semena-mena meraup keuntungan dibalik kesengsaraan para TKI. Hingga akhirnya bisa dikatakan bahwa sebenarnya “kita” terlalu lama bahwa hidup sejahtera dan bermartabat itu diperoleh dengan menyandarkan diri kepada Negara lain, padahal sesungguhnya hal itu adalah sikap dan opini yang salah. Dan fakta TKI seperti sekarang ini adalah bukti nyata.
Masalah pekerjaan, terutama aspek pekerjaannya, sebenarnya juga telah diatur dengan rinci dalam Islam. Perlakuan terhadap pekerja itu diatur dengan sedemikian rupa sehingga kehidupan mereka pun terjamin. Sabda Rasulullah, “Pelayan-pelayanmu adalah saudara-saudaramu. Allah menjadikan mereka bernaung di bawah kekuasaannmu. Barangsiapa saudaranya yang berada di bawah naungan kekuasaannya hendaknya mereka diberi makan serupa dengan yang dia makan dan diberi pakaian serupa dengan yang dia pakai. Janganlah membebani mereka dengan pekerjaan yang tidak dapat mereka tunaikan. Jika kamu memaksakan suatu pekerjaan hendaklah kamu ikut membantu mereka” (HR. Al Bukhari). “Bagi seorang budak jaminan pangan dan sandangnya. Dia tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya” (HR. Ibnu Haban). “Berikanlah kepada buruh upahnya sebelum kering keringatnya” (HR. Abu Yu’la). “Nabi SAW melarang mempekerjakan seorang buruh sebelum jelas upah yang akan diterimanya” (HR. An Nasa’i). “Menzalimi upah terhadap buruh termasuk dosa besar” (HR. Ahmad). “Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuhku. Barangsiapa menjadi musuhku, maka aku memusuhinya. Pertama, seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat), kedua, seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan upah harga penjualannya, ketiga, seorang yang mengkaryakan seorang buruh tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi upahnya” (HR. Ibnu Majah).“Janganlah memukul budak perempuanmu hanya karena dia memecahkan barang pecah belahmu. Sesungguhnya barang pecah belah itu ada waktu ajalnya seperti ajalnya manusia” (HR. Abu Na’im dan At Thabrani).
Padahal kita tahu, bahwa Malaysia, Arab Saudi, negara-negara timur tengah ataupun Indonesia, mayoritas penduduknya muslim, namun sayang tak banyak yang paham akan aturan Islam. Buktinya, jika mereka paham bagaimana seharusnya memperlakukan pekerja, seharusnya tak ada penyiksaan-penyiksaan fisik yang berbuntut kasus yang panjang, harusnya tak ada penundaan gaji atau permasalahan yang lainnya.
Begitu lengkap Islam mengatur segalanya, kesempurnaan dan keparipurnaan tampak dalam agama Allah ini. Seluruh problem disolusi dengan solusi yang tepat, sesuai dengan bagaimana Allah mengaturnya, karena bagaimanapun juga, manusia takkan pernah bisa membuat aturan sendiri dalam rangka menyelesaikan permasalahan dalam hidupnya. Islampun tak hanya mengatur urusan akhirat, atau hal-hal yang terkait ibadah ritual semata, namun urusan duniapun diatur dalam Islam, termasuk masalah kepemilakan, pekerjaan dan lainnya. Inilah kelebihan Islam dibanding ajaran yang lain. Jikalau Islam digunakan sebagai pemahaman dalam hidup dan diaplikasikan dalam hidup, takkan ada penyiksaan terhadap TKI, takkan ada penundaan gaji, takkan ada perlakuan yang tidak manusiawi, takkan ada manusia kelaparan, takkan ada keterlantaran, atau bahkan takkan ada “TKI”. Sebagaimana hal ini jika kepemilikan umum seperti tambang dan sumber kekayaan alam lainnya yang menjadi milik ummat dikelola oleh Negara untuk digunakan bagi kemakmuran rakyatnya, bukan untuk memperkaya pihak-pihak tertentu atau untuk kepentingan pihak asing, maka kesejahteraan hidup rakyat yang akan didapat, bukan kesengsaraan dan kesenjangan sosial antara kaum kapital dengan rakyat jelata. Ibnu Abbas berkata, "Rasulullah SAW bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api" (HR. Ibnu Majah).
Hukum Allah itulah yang seharusnya diambil, karena hukum Allah itulah yang pasti mengandung kemaslahatan, hingga sudah selayaknya kita tidak boleh ragu akan aturan-aturan Allah untuk kita. Ini adalah PR yang harus dituntaskan, hingga benar-benar semuanya selesai tanpa melahirkan masalah yang lain. Tiada jawaban lain selain menjadikan Islam sebagai acuan segalanya, sebagai tolak ukur, sebagai solving yang tepat. Kembali pada aturan Islam secara menyeluruh. Wallahu’alam bishowab.
2 comments:
Post a Comment