“Di antara umatku senantiasa ada orang-orang yang menang  
karena  berpegang erat dengan kebenaran. siapa pun yang berusaha  
mencampakkan  mereka tidak bisa membahayakan mereka hingga datang hari  
kiamat, mereka  tetap seperti itu.” 
(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Salah satu yang dituntut Allah dari seorang mukmin adalah pengorbanannya di jalan Allah, yaitu berkorban demi tegaknya agama Allah. Telah banyak contoh yang kita lihat dari perjuangan Rasulullah dan para sahabat dalam hal pengorbanan di jalan Allah.
Setelah
 Rasulullah dan para sahabat, kita menjumpai banyak sekali generasi 
setelahnya yang begitu memahami apa arti pengorbanan di jalan Allah yang
 sebenarnya. Sebut saja singa Allah, khalid bin walid ra., yang dengan 
gagah berani penuh kebanggaan berkata “aku lebih menyukai malam yang 
dingin dan bersalju, di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh 
di pagi hari daripada menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita 
yang aku cintai atau aku dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.” (HR.
 al-mubarak dan abu Nu’aim).
Islam membutuhkan pengorbanan
 kita. Karna pengorbanan ini yang akan membedakan kedudukan kita nanti 
di hadapan Allah. Insya'Allah semakin banyak kita berkorban semakin 
dekat pula kita pada kejayaan Islam. Karena itu hindari berfikir bahwa 
telah cukup berkorban hanya karena kita telah menjadi bagian dari 
pengemban dakwah di tengah-tengah banyaknya kaum muslim yang 
meninggalkan dakwah. Jangan pernah berfikir bahwa aktivitas dakwah 
adalah aktivitas “sampingan”, bukan menjadi prioritas kita.
Bukankah
 Rasul saja menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk dakwah. Karena 
itu pula tidak ada istilah dakwah melemah setelah lulus kuliah, setelah 
menikah, setelah punya anak atau pun setelah disibukkan untuk mencari 
nafkah. Pengemban dakwah tidaklah layak mengorbankan sesuatu yang 
minimalis untuk Allah, RasulNya, dan untuk Umat ini.
Untuk
 membangkitkan umat, diperlukan orang-orang yang mau bergerak secara 
ikhlas dan sungguh-sungguh untuk meraih kembali kejayaan Islam. Orang 
yang dibutuhkan adalah para pemuda Islam sekualitas para sahabat yang 
memiliki tauhid yang lurus, keberanian menegakkan kebenaran, serta 
memiliki ketaatan pada Islam. Dengan dorongan peran pemuda inilah maka 
perjuangan penegakan kembali aturan Allah di muka bumi ini akan 
berlangsung dengan giat sehingga Islam kembali tegak.
Konstelasi
 politik dunia mengarah kepada kejatuhan ideologi Kapitalisme-liberal. 
Hal ini membuka peluang bangkitnya Islam sebagai peradaban terbesar di 
abad ini. Namun kebangkitan Islam memerlukan sumberdaya manusia yang 
sangat tangguh. Karena kaum muslimin tidak sekadar dituntut membawa umat
 manusia untuk bangkit, tetapi juga agar tetap tegak berdiri menopang 
kekokohan peradaban.
Militansi dalam Meraih Tujuan
Istilah
 militansi sering dimaksudkan sebagai kesungguhan, kerja keras, dan 
mengerahkan segenap kesanggupan untuk meraih tujuan yang diinginkan. 
Dalam konteks militansi meraih tujuan ini, seseorang rela 
berpayah-payah, bekerja keras, tidak berleha-leha bahkan menanggung 
derita agar bisa meraih sesuatu yang dipandangnya sebagai kebenaran. 
Sesuatu yang dimaksud ini adalah hal berharga dalam hidupnya.
Islam
 sebagai ideologi memunculkan motivasi untuk melakukan yang terbaik 
dalam hidup setiap penganutnya, terlebih sebagai pengemban dakwah. 
Karena dengan melakukan yang terbaik, insya'Allah manusia akan 
mendapatkan balasan yang terbaik. Setiap manusia memiliki kemampuan 
terbaik. Ukurannya tidak pada kuantitas ataupun kualitas. Namun setiap 
potensi dirinya dicurahkan untuk memberikan yang terbaik, semata-mata 
karena Allah SWT. Tidak ada yang bisa menilai amal terbaik yang diterima
 selain dari Allah SWT. Islam hanya menetapkan rambu-rambu dan koridor, 
yaitu laksanakan kewajiban dan jauhi kemaksiatan. Maka manusia hanya 
dituntut untuk berbuat, dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan menolong 
dan memudahkan setiap hamba-Nya yang berjalan menuju kebaikan. Keyakinan
 inilah yang memunculkan militansi pada diri seorang muslim.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Militansi
 yang kuat tumbuh dari ideologi yang kuat, yang tertanam dalam jiwa 
pengembannya. Keharusan tumbuhnya militansi dari ideologi adalah agar 
militansi ini tidak bersifat semu dan sesat.
Militansi Ideologi dalam Profil Muslimah
Militansi
 ideologis tidak akan membuat dualisme sosok pengemban dakwah. Karena 
militansi ini dipagari oleh syariat Islam. Seorang pengemban dakwah 
tidak akan menjalankan aqad-aqad yang bertentangan dengan Islam, karena 
ketaatan kepada hukum syara’ adalah komitmen terhadap ideologinya. 
Seorang pengemban dakwah tidak akan melakukan pengabaian terhadap 
keluarganya, karena keluarga adalah bagian dari tanggungjawabnya.
Militansi
 ideologis dalam profil muslimah sholihah akan semakin memberikan 
gambaran nyata tentang sosok muslimah yang seharusnya. Pengabdiannya 
kepada keluarga dan ummat adalah kemuliaan menjadi perhiasan terindah di
 dunia sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah muslimah sholihah.” (HR. Muslim)
Militansi, Kesadaran, dan Kesungguhan untuk Memimpin 
Saat
 ini Ideologi Islam masih berupa benih subur yang tumbuh bersemi dalam 
jiwa mayoritas kaum muslimin.  Ideologi Islam belum terwujud dalam 
bentuk mabda (prinsip ideologis dan sistem hidup). Kaum muslimin masih 
hidup dalam cengkeraman sistem kapitalisme liberal. Sistem yang liberal 
menyebabkan manusia hidup pada kenistaan, kerusakan moral, dan jiwa. 
Sistem Kapitalisme yang jahat dan keji telah kasat mata diakui 
kerusakannya bagi sebuah peradaban manusia.
Islam menjadi 
harapan pengentasan umat manusia dari penderitaannya yang dalam. Harapan
 ini tumbuh dan bersemi dalam diri para pengemban ideologi Islam. Pada 
para pengemban dakwah inilah bertumpu harapan terwujudnya sistem Islam 
yang menyelamatkan umat manusia.
Prinsip ideologi yang 
menghunjam dalam jiwa tidak akan dengan sendirinya mengubah sistem hidup
 yang ada. Diperlukan perjuangan yang kuat agar ideologi memasyarakat 
kemudian terwujud dalam sistem yang nyata. Perjuangan memerlukan 
militansi yang kuat dari para pengembannya. Namun hal ini tidak bisa 
diharapkan dari mereka yang belum memahami kedalaman ideologi dan 
bagaimana langkah mewujudkannya. Untuk itu para pengemban dakwah harus 
memahami seperti apa mabda Islam dan bagaimana menerapkannya. Gambaran 
sistem yang utuh yang meliputi struktur negara, sistem ekonomi, sistem 
peradilan, sistem sosial, dan berbagai urusan kemaslahatan masyarakat 
harus tergambar dalam benak para pengemban dakwah. Gambaran penerapan 
Islam yang utuh ini telah diteladankan oleh Rasulullah Saw dan 
Khulafa’ur Rasyidin dalam bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Tidak
 akan terwujud tegaknya mabda, selain dari militansi para pengemban 
ideologi yang mendapat Nashrullah (karena kesungguhan pengorbanannya) 
untuk memimpin pergerakan menuju penegakan Daulah Khilafah Islamiyah. 
Militansi ideologi akan menumbuhkan kepemimpinan dalam diri para 
pengemban dakwah. Kepemimpinan untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran 
Islam ideologis dan memperbanyak kader. Kepemimpinan untuk menggerakkan 
para kader dalam dakwah Islam. Kepemimpinan untuk menggerakkan umat 
menyambut Islam dan bersama-sama memperjuangkannya. Kepemimpinan untuk 
menggerakkan umat agar mampu bersama-sama merobohkan sistem yang rapuh 
dan rusak serta menggantinya dengan sistem baru di atas landasan 
ideologi Islam yang kuat. Kepemimpinan agar umat bersama-sama kader 
dakwah menjadi kekuatan yang kokoh dan solid yang akan memberikan amal 
terbaik demi meraih keridloan Allah SWT.
Membangun Militansi Ideologis Pengemban Dakwah
Persoalan
 militansi pengemban dakwah menjadi hal yang senantiasa dibahas dalam 
rangka meningkatkan kualitas para kader. Uraian di atas memberikan 
gambaran bahwa militansi adalah hal yang tidak boleh dipisahkan dari 
kesadaran ideologis. Bahkan militansi tidak boleh dilepaskan dari setiap
 tahap pembinaan kader. Karena militansi adalah kesadaran untuk 
senantiasa memberikan yang terbaik sesuai pemahamannya dan juga 
kemampuannya. Pemahaman terhadap ideologi yang mendalam, jernih, bersih,
 dan cemerlang apabila menyatu dengan militansi yang tinggi akan 
memberikan hasil yang seringkali di luar dugaan.
Di 
sinilah pentingnya memahami bagaimana mewujudkan militansi ideologis 
pada diri kader-kader dakwah. Empat hal awal yang harus diwujudkan:
1.  
  Pembinaan Tsaqofah Islam dalam bentuk yang utuh dan integral. 
Penguasaan tsaqofah ini menjadi modal bagi para kader untuk 
memahamihukum-hukum syara’. Jangan sampai ketidaktahuan terhadap 
hukum-hukum syara menyebabkan para kader dakwah sendiri tergelincir pada
 kefasadan. Tidak sekadar itu, masyarakat akan salah kaprah karena 
menganggap apa yang dilakukan para pengemban dakwah bukan suatu 
kesalahan.
2.    Pembinaan para kader agar menjadi 
mufakkirin-siyasiyin. Pengemban dakwah adalah guru-guru di tengah 
masyarakat. Mereka bukan sekadar guru dalam persoalan fiqh-fiqh ibadah 
dan muamalah. Tetapi juga menjadi guru dalam menyelesaikan 
persoalan-persoalan kehidupan. Saat ini problem kehidupan 
kapitalistik-liberal tidak bisa dipecahkan dengan jawaban-jawaban fiqh 
sebagaimana yang banyak tertuang dalam kitab-kitab para Ulama. Yang 
ditunggu oleh umat saat ini adalah para pemimpin yang bukan saja 
menguasai tsaqofah Islam, namun juga menjadi pemikir (mufakkirin) 
sekaligus pejuang politik (siyasiyin) agar Islam terwujud dalam realita 
kehidupan. Wawasan terhadap kondisi umat terkini haruslah dimiliki oleh 
setiap mufakkirin-siyasiyin agar bisa merancang strategi dalam rangka 
memenangkan pertarungan dalam kancah politik internasional.
3.   
 Pembinaan yang mampu memberikan arahan dan keteladanan kepada para 
kader agar  bisa mencurahkan kesungguhannya untuk senantiasa berpegang 
teguh pada aqidah dan hukum Islam dan senantiasa memperkuat komitmen 
untuk memperjuangkan tegaknya Islam. Pada aspek inilah militansi menjadi
 target pembinaan yang selalu dipantau oleh kepemimpinan partai politik 
Islam ideologis sebagai institusi yang memimpin pemikiran politik umat 
dan membina kader-kadernya
4.    Pembinaan yang mampu melahirkan 
kader-kader militan yang senantiasa menjadikan amar ma’ruf nahi munkar 
sebagai mekanisme untuk memurnikan kristalisasi ideologi dalam jiwa dan 
perilaku para pengemban dakwah. Tanpa membedakan tingkatan struktur 
kepemimpinan, senioritas kader, usia, atau kondisi apapun.
Demikian
 upaya membangun militansi ideologi ini, insya Allah akan menghasilkan 
pejuang-pejuang Islam yang tangguh, para 
Mujtahid-Mufakkirin-Siyasiyyin-Mujahid Fii Sabiilillah. Generasi yang 
tak akan diragukan lagi militansinya.
Sungguh Allah dan Rasul-Nya 
telah mengingatkan kaum muslimin bahwa keimanan akan mengalami benturan 
yang dahsyat. Benturan itu akan semakin dahsyat ketika kehidupan dunia 
ini berada di tepi jaman. Oleh karena itu, istiqomah sangat penting bagi
 pengemban dakwah. Sikap istiqomah ini diibaratkan oleh Nabi saw. 
Seperti menggenggam bara api yang akan membakar siapa saja yang masih 
‘berani’ menggenggamnya.
Anas bin Malik menuturkan, 
Rasulullah SAW bersabda: “Akan tiba suatu masa pada manusia, dimana 
orang yang bersabar di antara mereka dalam memegang agamanya, ibarat 
orang yang menggenggam bara api.”(Hr. at-Tirmidzi).
Memang, bara 
api itu akan membakar orang yang menggenggamnya, tapi tidaklah ia 
membakar melainkan akan membersihkan segala kotoran-kotoran yang ada 
pada dirinya. Seperti api yang membersihkan emas dari pengotornya.
Umat
 yang sudah berada dalam kesuraman ini membutuhkan cahaya yang benderang
 dari para pengemban dakwah. Jika pengemban dakwahnya juga turut 
meredupkan cahaya agama ini, maka bagaimana umat bisa kembali ke jalan 
kebenaran? Jadikanlah diri kita sebagai penggenggam bara api yang 
menyala. Karena semua pengorbanan diri di hadapan Allah tidaklah 
sia-sia. Kemuliaan dan kebangkitan umat akan terwujud dengan kejernihan 
dan ketegasan pemikiran serta sikap para pengemban dakwahnya. Insya 
Allah. Allah berfirman,
“Apakah kamu mengira bahwa 
kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) 
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa 
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan 
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang 
beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, 
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS al-Baqarah: 214)
Ayat
 di atas menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang menjadikan surga sebagai
 cita-citanya maka ia harus bersiap diri merasakan penderitaan, 
kesengsaraan, dan kegoncangan seperti yang dialami umat-umat sebelum 
kita. Penderitaan itu mereka dapat karena keteguhan mereka dalam 
mempertahankan iman dan  perjuangan menegakkan agama Allah.
Dikisahkan
 ada seorang sahabat yang bernama Khabbab bin al-Arts ra. Datang kepada 
Nabi saw. mengeluhkan penderitaan yang ia rasakan disebabkan siksaan 
orang-orang kafir karena ia memeluk Islam. Rasulullah saw. kemudian 
memberikan nasihat kepadanya bahwa apa yang ia rasakan belum seberapa 
dibandingkan dengan yang menimpa umat-umat sebelum Islam.
“Dahulu
 kaum sebelum kamu, adakalanya dikubur hidup-hidup, digergaji dari atas 
kepalanya hingga terbelah menjadi dua, adakalanya dikupas kulitnya 
dengan sisir besi yang mengenai daging dan tulang, tetapi keadaan yang 
demikian tidak menggoyahkan iman agamanya.” (HR Bukhari)
Pengemban dakwah haruslah memberikan kontribusi dalam dakwah.
Kontribusi
 dalam dakwah adalah memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, 
kehidupan, dan segala sesuatu yang dipunyai oleh seseorang untuk sebuah 
cita-cita. Ini menjadi bentuk pengorbanan seorang kader terhadap dakwah.
 Perjuangan dan pengorbanan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Karakter
 aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak merasa ringan untuk 
berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatu pun yang merintanginya 
untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan dakwah ini.
“Di 
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang 
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang 
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka 
sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. Al Ahzab: 23)
Hakikatnya
 bila kita telah mendeklarasikan diri sebagai pengemban dakwah, maka 
sejatinya kita telah melakukan sebuah transaksi dengan Rabb Sang 
Pencipta. Transaksi untuk mengorbankan harta, jiwa, waktu, dan seluruh 
kehidupan untuk mengemban risalah dakwah ini. Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya
 Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka 
dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah;
 lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang 
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Quran. dan siapakah yang
 lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah 
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
 besar.” (QS. At-Taubah 110)
Inilah sebuah keputusan 
yang harus diambil seorang pengemban dakwah. Setiap keputusan, apapun 
itu pasti memiliki konsekuensi. Dalam hal ini konsekuensi yang harus 
dipahami untuk menjadi pengemban dakwah ini diantaranya adalah totalitas
 (tajarrud) dan pengorbanan (tadhiyah).
Dakwah menuntut 
totalitas. Dari sebuah totalitas akan membuahkan profesionalitas. Dakwah
 tidak mengenal waktu sisa, karena kewajiban yang ada lebih banyak dari 
waktu yang tersedia.
Tadhiyah (pengorbanan) adalah buah 
dari pemahaman yang lurus akan arti pentingnya dakwah Ilallah. Tadhiyah 
yang dimaksud di sini adalah seorang da’iyah harus mampu mengorbankan 
harta, jiwa, waktu, dan seluruh kehidupannya untuk kemenangan Islam. 
Tiada kemenangan tanpa perjuangan, Tiada perjuangan tanpa pengorbanan. 
Seorang da’iyah yang lurus pemahamannya adalah yang apabila dihadapkan 
pada posisi yang sulit selalu mengesampingkan kepentingan pribadi dan 
lebih mengedepankan kepentingan dakwah. Dan itulah kemurnian arti sebuah
 pengorbanan.
Dalam perjuangan penegakkan khilafah yang 
difahami sebagai sebuah kewajiban, para pejuang harus memiliki Iman yang
 kokoh dan hati yang ikhlas dengan segala pengorbanan-pengorbanan meski 
terkadang kehidupan terasa pahit.
Tidak ada satu hal besar bisa 
tercapai kecuali dengan pengorbanan yang juga besar. Untuk perjuangan 
yang maha besar ini dituntut keihklasan. Ikhlas itu berarti menunaikan 
kewajiban dengan tidak menyebut-nyebut saya sudah melakukan ini itu 
dengan maksud riya, tidak pula mengira-ngira apa yang nanti akan jadi 
buahnya, serta tidak membilang apa yang nanti akan jadi kesudahannya.
Kebangkitan
 ideologi Islam dalam bentuk penegakkan aqidah dan hukum Islam  
insya'Allah akan menghantarkan pada kebangkitan yang hakiki. Berbuat 
dengan dilandasi atas aqidah dan hukum Islam menjadikan kita punya 
harapan akan cahaya kebangkitan Islam. Jikalau Islam sudah bangkit dan 
bersinar tiadalah kekuatan duniawi yang mampu memadamkan nyalanya! Tidak
 ada satu bendungan raksasa pun yang sanggup menahan aliran kebangkitan 
Islam, ketika umat sungguh-sungguh menegakkan aqidah dan hukum Islam 
dalam kehidupan ini, dan ketika keimanan yang kokoh sudah tertanam dan 
hidup di dada kaum muslim. Mungkin saja musuh-musuh Islam mengerangkeng 
pejuang Islam dengan rantai tetapi tidak ada satu kelaliman pun yang 
dapat merantai Iman, sebab Iman menolak penindasan dan menghendaki 
kemerdekaan. Memang betul, bahwa (pengaruh) keimanan memang naik dan 
turun, tetapi trend-nya harus dijaga agar tetap naik. Futur adalah 
penyakit yang memang pasti akan menyerang seseorang yang tingkat 
keimanannya tinggi, bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk memperkuat 
dan membawa keimanannya ke level yang lebih tinggi.
Menjemput Kemenangan Islam
Pertolongan
 Allah diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Diantaranya, 
insya'Allah pertolongan Allah akan  diberikan kepada kelompok tertentu 
yang memiliki sifat-sifat tertentu. Kelompok ini langsung disiapkan, 
dibentuk, dan dibina oleh Allah sendiri agar layak berkuasa di bumi dan 
berhak mengemban amanah penegakan agama di seluruh dunia. subhanallah...
 (memikirkan tentang hal ini, bagaimana ketika seseorang atau sekelompok
 orang mendapat pembinaan langsung dari Allah?). Itulah Ath-Tha’ifah al 
Manshurah (kelompok pemenang). Kelompok inilah yang di maksud oleh 
Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Di antara umatku 
senantiasa ada orang-orang yang menang karena berpegang erat dengan 
kebenaran. siapa pun yang berusaha mencampakkan mereka tidak bisa 
membahayakan mereka hingga datang hari kiamat, mereka tetap seperti 
itu.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan 
Ahmad).
Kelompok pemenang/Ath-Tha’ifah al Manshurah yang 
berpegang pada kebenaran ini menolong Islam tidak mengandalkan jumlahnya
 yang banyak. Mereka selalu merupakan kelompok minoritas. Orang-orang 
yang beriman pada setiap zaman dan tempat meraih kemenangan atas 
musuh-musuh mereka tidak dengan jumlah yang besar dan senjata mereka. 
Namun, mereka meraih kemenangan karena berpegang teguh pada agama ini, 
yang dengan itulah Allah memuliakan mereka. Hal ini sebagaimana pernah 
dikatakan oleh Abdullah bin Rawahah ra. saat terjadi perang mu’tah,”kita
 tidak memerangi musuh dengan senjata, kekuatan, dan pasukan besar. Kita
 tidak memerangi mereka kecuali dengan agama ini, yang dengan itulah 
Allah memuliakan kita.”(Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam).
Sesungguhnya
 ketentuan–ketentuan Allah SWT  itu tidak dikhususkan kepada sembarang 
orang. Kemenangan ada sebab-sebabnya, kekalahan pun demikian. Siapa saja
 yang dikehendaki Allah memiliki sebab-sebab pembawa kemenangan, Allah 
pasti  akan menolongnya. Siapa saja yang tidak Allah kehendaki memiliki 
sebab-sebab pembawa kemenangan, maka silahkan untuk menyalahkan dirinya 
sendiri, Allah SWT berfirman:
“(Pahala dari  Allah) 
itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian dan tidak menurut 
angan-angan Ahlul Kitab. siapa saja yang mengerjakan kejahatan, niscaya 
ia dibalas karena kejahatan itu.” (QS an- Nisa’(4):123)
Pada
 saat-saat sekarang inilah kita perlu melakukan refleksi atas berbagai 
kesulitan dan kehinaan yang tengah kita hadapi. Dunia hampir-hampir 
putus asa menanti datangnya petunjuk. Namun tak boleh putus asa. 
Informasi yang dapat kita peroleh dari sirah Nabi Muhammad saw. kita 
akan jumpai pesan utama yang harus kita pelajari lebih jauh, yaitu bahwa
 Rasulullah saw. hadir laksana sebuah ‘cahaya yang menerangi’ atau 
siraajan munir. Satu-satunya jalan untuk mengubah keadaan gelap gulita 
yang kini dialami ummat manusia adalah dengan mengikuti segala sesuatu 
yang ditinggalkan Rasulullah Saw. kepada kita. Itulah kitabullah, 
sunnah, dan sumber-sumber hukum Islam lainnya. Cara ini hanya bisa 
ditempuh dengan menegakkan kembali Negara Khilafah Islamiyah sebagaimana
 di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin dan Kekhilafahan Islam yang 
menegakkan aqidah dan hukum Islam di tengah-tengah ummat.
“Dan
 katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta 
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan 
dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
 diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. at-Taubah [9] : 105).
Wallahua’lam bish shawab.




0 comments:
Post a Comment